Titik Nol Kilometer Perjalanan Legislatif

5
192

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah posisi yang sangat mentereng dalam tatanan sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebuah lembaga tinggi negara yang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat melalui wakil-wakilnya yang mereka pilih melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu). Wakil rakyat, begitu para anggota DPR sering disebut, yang menandakan bahwa di tangan merekalah tersimpan setumpuk aspirasi dan bermacam kepentingan dari berbagai lapisan masyarakat.

Dengan tingkat renumerasi yang cukup tinggi, fasilitas yang baik dan beragam keistimewaan yang didapatnya, tak heran banyak orang yang ingin bahkan berambisi untuk menjadi bagian dari ‘wakil rakyat’ ini. Banyak yang menghalalkan segala cara dalam rangka memperoleh satu kursi legislatif. Dan saat mereka dipastikan berhasil meraih satu kursi, banyak yang merasa bahagia bak baru mendapatkan harta karun , lalu berpesta seakan meraih kursi DPR merupakan  prestasi kesuksesan, beranggapan bahwa Tuhan telah memberikan anugerahnya kepada mereka dalam wujud kursi panas tersebut.


Mungkin tidak banyak yang menyadari, bahwa kursi tersebut seseungguhnya adalah amanat yang sangat berat. Anggota DPR adalah perpanjangan lidah rakyat. Maka saya rasa kurang tepat jika hal ini dikatakan sebagai ‘anugerah dari Tuhan’, justru ini adalah sebuah ujian maha berat dari Tuhan untuk umatnya dengan sebuah jabatan yang sangat rentan bagi individu-individu yang tidak tahan akan godaan duniawi.

Para oknum wakil rakyat yang tidak tahan godaan inilah yang kemudian sering mengotori kredibilitas lembaga legislatif. Akibatnya tingkat kepercayaan rakyat kepada lembaga legislatif semakin rendah, tercermin dari beberapa survei dan jajak pendapat belakangan ini.

Saya menulis catatan nol kilometer perjalanan legislatif ini nanti dengan penuh sukacita, semangat, sekaligus harapan akan sebuah perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya ingin menjadi bagian dari DPR yang Bersih, Transparan dan Profesional dalam keseharian tugasnya. Walaupun banyak yang berkata bahwa disana orang baik sangat sedikit jumlahnya dibandingkan dengan yang korup, namun saya bertekad untuk menjadi salah satu dari yang sedikit tersebut. Saya akan terus mengingat dalam sanubari saya slogan yang saya ungkapkan pada kampanye pemilihan yang lalu, yaitu ‘Utuslah Aku Ke Pusat’. Dan kini masyarakat Bangka Belitung telah memutuskan untuk mengutus saya ke pusat menjadi anggota DPR RI. Tentu tiket yang saya pegang ini tidaklah ‘gratis’. Saya sadar betul harapan dan ekspektasi yang tinggi yang akan selalu menyertai kiprah saya kelak.

Harapan Dan Cita-cita Untuk Perjalanan Panjang
Dalam catatan awal perjalanan legislatif ini, ada beberapa hal yang ingin saya jadikan layaknya sebuah mental notes yang memandu saya dalam tugas di DPR nanti.bila tak ada perubahan rencana, saya akan berkiprah di Komisi yang akan menangani permasalahan Pemerintahan dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur Negara, dan Agraria. Berkenaan dengan itu ada beberapa hal yang akan saya upayakan terwujud atau paling tidak mampu mendirikan suatu dasar perbaikan kecil untuk jangka panjang.

Salah satu isu yang belakangan terus dibicarakan adalah tentang otonomi daerah, kita sama-sama tahu sejak pertama kali Undang-undang No. 22 tahun 1999 otonomi daerah diberlakukan pada tahun 2001, maka dimulailah sebuah proses penyerahan wewenang secara vertikal yang disebut-sebut terbesar di dunia. Bagaimana dahulu kita telah terbiasa dengan sistem yang sangat sentralistik lalu kemudian dengan proses yang cukup cepat kita mengaplikasikan suatu konsep kemandirian baru melalui otonomi daerah yang dibarengi desentralisasi fiskal.

Masalah yang muncul kemudian adalah perilaku korup yang menjangkiti para pelaku pemerintahan di daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Otonomi daerah menjadi ajang kekuasaan raja-raja kecil di daerah yang merasa bebas melakukan apa saja di daerahnya sendiri. Mereka sibuk memperkaya diri sendiri sementara rakyat tidak pernah mengalami perbaikan nasib. walaupun jaman berubah, Orde lama ke Orde baru lalu ke era reformasi dan otonomi daerah, nasib mereka tetap tak berubah,
Sebagai seseorang yang pernah mengalami sendiri menjadi ‘raja kecil’ tersebut, saya sangat mengerti problema otonomi daerah dan kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Memang benar bahwa seorang pemimpin, baik dalakm skala lokal maupun nasional memiliki peran yang sangat vital dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Pengalaman menjadi Bupati Kabupaten Belitung Timur mengajarkan saya bahwa pepatah kuno Tionghoa yang mengatakan bahwa jika kepalanya lurus, maka badan/bawahan akan ikut lurus. Apabila pemimpin tidak lurus, maka jangan harap rakyatnya akan lurus. Untuk itulah sosok pemimpin yang Bersih, Transparan dan Profesional begitu sangat dirindukan untuk membawa angin perubahan di negeri ini.

Masalahnya, proses pencarian pemimpin baik untuk skala nasional seperti Pilpres maupun skala lokal seperti Pilkada yang ada sekarang dirasa memang belum dapat memberikan harapan untuk menemukan sosok yang benar-benar mumpuni. Individu-individu yang bersih masih sulit untuk ikut dalam proses tersebut, baik karena masalah finansial maupun akses penjaringan calon pemimpin oleh Partai politik yang belum berjalan baik.

Disinilah lembaga legislatif menjadi sangat penting. Disaat kita belum bisa terlalu berharap akan kepemimpinan eksekutif yang dapat diandalkan untuk mensejahterakan rakyat, maka perlu peran legislatof sebagai perwakilan rakyat untuk senantiasa mengawasi dan mengontrol kekuasaan. Kekuasaan tidak boleh dibiarkan absolut karena ‘Power tends to corrupt, and absolute power corrupst absolutely’.

Lalu apa yang akan bisa saya sumbangkan untuk negeri ini menghadapai deretan permasalahan di atas? Yang jelas, sebagai legislator di tingkat nasional saya tentu akan senantiasa mengawal jalannya pemerintahan, termasuk masalah pemerintahan lokal dan juga aparatur negara yang memang menjadi fokus tugas komisi 2 DPR RI. Saya menolak segala bentuk ‘perselingkuhan’ antara eksekutif dengan legislatif yang selama ini sering terjadi. Para wakil rakyat yang seharusnya berada di pihak rakyat dan mengawasi eksekutif justru kemudian selingkuh dan sama-sama tinggal dengan eksekutif di menara gading yang tidak terjangkau oleh aspirasi rakyat. Akibatnya proses penyusunan anggaran (APBD dan APBN) menjadi ajang bagi-bagi proyek. Kalau sidah begini mustahil mengharapkan APBN dan APBD yang berpihak pada rakyat.

Untuk mendapatkan pemimpin yang baik, tentu perlu proses Pemilihan yang baik pula. Saya pribadi yang sejauh ini telah mengikuti proses pemilihan sebanyak empat kali (Pemilu 2004, pemilihan Bupati, Gubernur dan Pemilu 2009) tentu telah merasakan sendiri carut-marut di balik pelaksanaan pemilu dan pilkada. Berbagai intrik seputar pemilihan merupakan bagian dari asam garam kehidupan politik yang sempat saya rasakan. Oleh sebab itu tentu saya akan ada di garda terdepan dalam tiap usaha memperbaiki pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di Indonesia. Baik dari segi peraturan (Undang-undang) maupun dari sisi pelaksananya (KPU).

Dengan iklim persaingan yang sehat tentu akan menarik minat bagi individu-individu yang berkualitas untuk ikut serta dalam pemilu/pilkada, yang pada akhirnya membuat rakyat memiliki pilihan yang baik untuk menjadi pemimpinnya. Karena seperti yang sudah saya buktikan sendiri selama hampir dua tahun menjabat sebagai Bupati, akan sangat berbahaya apabila posisi kepala daerah diisi oleh orang yang hanya bermaksud untuk menumpuk kekayaan semata. Sebaliknya, apabila posisi kepala daerah dapat diisi oleh pemimpin yang baik, maka kesejahteraan rakyat akan lebi terjamin karena pemimpin yang baik tentu akan selalu memperhatikan rakyatnya dan bersedia untuk melakukan berbagai kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Hal lain yang akan menjadi perhatian dari Komisi 2 DPR tempat saya bertugas nanti adalah masalah Agraria. Banyak orang bilang negara kita adalah negara agraris. Memang fakta mengatakan bahwa mayoritas pekerja Indonesia ada di sektor pertanian. Namun perhatian terhadap sektor pertanian justru rendah. Reformasi agraria sering menjadi wacana, namun pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. Masalah ini pun baru ramai dibicarakan setelah tersiar fakta bahwa Indonesia menjadi pengimpor beras.

Lahan merupakan faktor produksi yang penting dalam perekonomian. Kebudayaan tiongkok kuno menganggap faktor lahan (sawah) sebagai determinan kekayaan dan kemakmuran. Saya memiliki sebuah mimpi dimana pemerintah memiliki kemauan yang kuat untuk membenahi sektor agraria. Contohnya pemerintah dapat membangun proyek infrastruktur pertanian dan irigasi dengan baik dan lahan tersebut menjadi milik pemerintah (tidak dikuasai oleh segelintir ‘petani berdasi’) dan tidak dimiliki oleh siapapun, kecuali oleh petani penggarap asli yang mau menggarap lahan tersebut. Maka seluruh lahan sawah dapat terpelihara dan investasi pemerintah tidak sia-sia. Selain itu saya juga memimpikan di tiap pelosok desa terdapat koperasi pertanian yang menyediakan pupuk, benih dan penunjang pertanian lainnya dengan sistem pengadaan secara konsinyasi dari dinas pertanian setempat meupun departemen pertanian. Apalagi jika Bulog dapat berperan menjadi agen pembeli gabah para petani untuk melindungi mereka dari tengkulak dan menjaga harga komoditas pertanian tetap stabil. Ini merupakan mimpi jangka panjang yang membutuhkan serangkaian kerja keras dan niat tulus ikhlas bekerja demi masa depan anak cucu kita di Indonesia tercinta ini.

Saya sadar, akan menjadi anggota parlemen di tengah sorotan publik akan rendahnya kinerja legislatif selama ini dan berbagai skandal yang kian melunturkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Saya juga sadar telah terpilih melaju ke DPR RI dalam Pemilu yang tingkat golputnya relatif tinggi. Dan saya mengerti sepenuhnya apabila ke depan akan banyak sorotan dan cibiran mengenai anggota DPR yang cenderung identik dengan penyakit lupa. Lupa untuk ikut rapat, lupa untuk memperhatikan konstituennya, dan lupa akan janji-janji politiknya selama kampanye. Bahkan kadang sampai pada lupa akan anak-istri di rumah. Mabuk kekuasaan dan mabuk harta.

Saya dengan rendah hati meminta restu dari segenap masyarakat untuk mengemban tugas berat ini. Saya juga mengharap peran serta masyarakat, siapapun ia, untuk turut mengawasi saya agar mampu membuat saya keep on the right track dalam mengawal aspirasi masyarakat Babel pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Godaan yang akan datang sebagai wakil rakyat akan sangat besar mengingat banyak kepentingan yang bermain disana. Saya akan berjuang untuk membuktikan dan membuka mata publik bahwa masih ada individu-individu di luar sana yang Bersih, Transparan dan Profesional yang menawarkan harapan akan perubahan di Indonesia tercinta ini.

5 COMMENTS

  1. Semoga jadi anggota DPR yang benar2 menyalurkan aspirasi wong cilik bukan wong licik. saya prihatin melihat angka absensi anggota DPR yang rendah disamping kebiasaan titip absen. Semoga pak Basuki bisa mempengaruhi anggota yg lain supaya menjadi lebih giat.

  2. Bang Ahok…
    Kalau di pusat DPR-nya berada di titik nol, kalau DPRD Beltim Bagaimana pendapat Abang?
    Jangan-jangan mengajak masyarakat Beltim mundur, karena sepertinya banyak memainkan “gigi REVERSE” dalam masa-masa pertama tugasnya. Investasi di Beltim sudah babak belur, PT. AKS dan CV. Hanjaya sudah sakit gigi saat ini. Seperti semua keputusan untuk melayani investasi “dianggap semuanya salah” karena tidak koordinasi dengan DPRD. Entahlah… Apa DPRDnya sudah “mati rasa”, bahwa hari ini masih resesi ekonomi, pengangguran banyak dan terancam makin membludak sementara kesempatan kerja di Beltim bak mimpi di siang bolong.
    Entahlah…entahlah…entahlah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here