Ahok.Org – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meresmikan teknologi pengolahan lumpur terbesar di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jaya seluruh Indonesia atau Decanter oleh PT Aetra Air Jakarta, Selasa (12/5/2015) pagi.
Dalam sambutannya, Presiden Direktur Aetra Mohamad Selim mengatakan pihaknya melakukan investasi tahun 2015 seperti yang tertuang dalam master agreement sebesar Rp 196 miliar.
“Investasi itu merupakan komposisi yang mayoritas investasinya untuk perpipaan dan menurunkan tingkat kebocoran air. Sementara Rp 28 miliar diantaranya dikhususkan untuk mengembangkan teknologi pengolahan lumpur Aetra di Pulogadung dan Buaran,” kata Selim, di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Pulogadung, Jalan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur.
Setelah dilakukan lelang, pihaknya dapat menghemat Rp 5,5 miliar. Penghematan itu, kata dia, digunakan untuk pengembangan daerah perpipaan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, awalnya Decanter ini dipergunakan untuk pengolahan perminyakan sawit. Setelah dilakukan inovasi, Decanter dapat memisahkan air lumpur dengan air bersih.
Dalam waktu satu jam, alat ini mampu menghasilkan 1,6 ton lumpur. Lumpur tersebut dapat diolah menjadi batu bata. “Pertama kami ujicoba di Buaran dan setelah berhasil, kami pasang juga di Pulogadung. Camat dan wali kota bisa memanfaatkan barang itu, limbah ini banyak skali, kalau 10 jam mesinnya dipakai bisa dapat lumpur 16 ton, bisa dimanfaatkan,” kata Selim.
Sebuah mesin decanter telah beroperasi di IPA Buaran dan akhir tahun 2015 akan ditambah satu mesin lagi. Sementara mesin decanter di IPA Pulogadung mulai beroperasi awal tahun 2015 dan mesin kedua beroperasi di penghujung tahun 2016.
Dalam sambutannya, Basuki menegaskan warga DKI harus mendapat pasokan air bersih. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, lanjut dia, terjadi perjanjian kerja sama (PKS) antara PDAM Jaya dengan dua operator air (Palyja dan Aetra).
Di dalam PKS itu terdapat aturan mengenai besaran imbalan yang harus dibayarkan PDAM Jaya kepada operator. PDAM Jaya sebagai BUMD DKI wajib membayar Palyja sebesar Rp 7.000 per meter kubik, sementara tarif air yang dibayarkan warga kepada PDAM Jaya hanya Rp 1.000. Maka, kekurangan sebesar Rp 6.000 menjadi tanggungan PDAM Jaya.
Kontrak perjanjian kedua operator air tersebut tidak menguntungkan Pemprov DKI. Pasalnya, dalam kontrak tersebut, operator pengelola air hanya perlu membayar denda Rp 80 juta per 1 persen dari selisih target yang ditetapkan.
“Kenyataannya sekarang perjanjian itu enggak bisa dipenuhi, kebocoran air sampai 40 persen, mereka enggak bisa memenuhi target MDGs,” kata Basuki.
“Sekarang kami sedikit melanggar perjanjian, kalau operator masih belum bisa menanggulangi kebocoran, kami bikin (IPA) sendiri saja. Sekali lagi, terimakasih dengan mengucap syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, maka gedung Decanter di Pulogadung, secara resmi saya resmikan,” kata Basuki. [Kompas.com]
–
Aetra Ubah Limbah Lumpur Jadi Air Baku
Kekurangan air baku merupakan permasalahan utama yang dihadapi operator air bersih di DKI Jakarta. Melihat hal itu, salah satu operator air bersih mitra PDAM Jaya, yakni PT Aetra Air Jakarta melakukan inovasi baru untuk menambah air baku.
Inovasi baru yang dilakukan adalah mengolah limbah lumpur menjadi air baku. Dengan mendirikan Gedung Pengolahan Lumpur (Decanter) di Instalansi Pengolahan Air (IPA) Buaran dan IPA Pulogadung, paling tidak Aetra mampu menambah air baku sekitar 450 liter per detik.
Decanter tersebut diresmikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama di IPA Pulogadung, Jalan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur, hari ini, Selasa (12/5).
Presiden Direktur PT Aetra Air Jakarta, Mohamad Selim mengatakan terobosan ini dilakukan karena adanya regulasi pemerintah yang mewajibkan perusahan untuk melakukan pengelolaan limbah. Karena itu, Aetra melakukan kajian untuk mengubah limbah lumpur menjadi air baku dan lumpur sendiri bisa digunakan untuk material bangunan seperti batu bata.
“Kita olah sebanyak 750.000 meter kubik air baku dengan kandungan lumpur yang setiap harinya mencapai 72 ton di IPA Buaran. Lumpur itu ada akibat dari erosi tanah pada saluran terbuka dari Kali Bekasi dan Saluran Tarum Barat (Kalimalang),” kata Selim dalam acara Peresmian Gedung Pengolahan Lumpur di IPA Pulogadung, Jakarta Timur, Selasa (12/5).
Decanter
Awalnya, pengolahan limbah lumpur ini dipakai dengan metode konvensional yang sering dipakai dalam pengolahan minyak sawit. Yakni sludge drying bed (bak pengeringan lumpur mengandalkan sinar matahari). Namun melihat metode ini belum sepenuhnya dapat mengolah limbah lumpur, maka Aetra pun menciptakan sistem pengolah lumpur Decanter.
“Kita mencoba berinovasi untuk mendapatkan sistem yang dapat mengolah lumpur agar mampu menghasilkan tambahan air baku dan lumpurnya bisa digunakan untuk hal yang lain. Kita coba dan nekat saja. Akhirnya di IPA Buaran berhasil dilakukan dengan Decanter. Lalu kita pasang lagi di Pulogadung,” jelasnya.
Dipaparkannya, di IPA Buaran yang mengolah air baku sebanyak 5.000 liter per detik, maka limbah lumpurnya yang diolah Decanter bisa menghasilkan tambahan air baku sebanyak 300 liter per detik. Sedangkan di IPA Pulogadung, dari air baku yang diolah menjadi air bersih 4.000 liper per detik, maka Decanter bisa mengolah limbah lumpur menghasilkant tambahan air baku 150 liter per detik.
Lalu untuk lumpurnya sendiri, lanjutnya, di IPA Buaran dan IPA Pulogadung masing-masing dapat menghasilkan lumpur sebanyak 1,6 ton per jam. Lumpur tersebut bisa digunakan menjadi salah satu bahan untuk membuat batu bata. Tidak hanya itu, sementara ini, lumpur juga digunakan untuk pengurugan tanah yang dilakukan developer swasta.
“Sementara ini, produksi lumpur masih 60 persen, karena mesin decanternya belum datang semua. Sekarang masih dalam pelayaran dari Turki, karena pemenang lelangnya mereka. Nanti di IPA Buaran dan Pulogadung masing-masing ada dua mesin decanter. Tahun ini baru dua, tahun depan dua lagi,” jelasnya. [Beritasatu.com]
Sambil nunggu persidangan banding dan kasasi ‘privatisasi air’ (untuk akuisisi), mungkin ide Pak BTP untuk bikin IPA sendiri sangat baik untuk dipertimbangkan secepatnya.
Kalau nunggu akuisisi Aetra dan Palyja selesai, mungkin harga pengadaan tanah di Jakarta dan sekitarnya sudah selangit.
Sebaiknya batu bata tersebut diteliti kelayakannya, apakah berpotensi menjadi zat karsinogen. Karena lumpur dari air limbah kota bisa tercampur dari berbagai macam polutan dan logam berat.