Ahok.Org – Keberadaan Pulau Belitung tidaklah setenar Pulau Bangka dalam percaturan politik nasional. Meski demikian, dari Manggar, Belitung Timur, muncul sejumlah tokoh nasional, bahkan internasional.
Sebutlah Yusril Ihza Mahendra sebagai tokoh politik dari kelompok Islam. Selain itu, dari kecamatan itu hadir pula Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit, petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) semasa Orde Lama. Sementara itu, selepas Reformasi 1998, publik juga mengenal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Tionghoa pertama yang menjadi Bupati Belitung Timur, lalu calon Gubernur Bangka Belitung, dan kini anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Aidit, Yusril, dan Ahok seolah menjadi bukti keragaman dalam dunia politik di Belitung. Aidit dibesarkan dalam keluarga yang aktif di Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), salah satu partai Islam besar di masa Orde Lama. Namun, pilihan politiknya mengantarkan dia menjadi Ketua PKI.
Lalu, muncul Yusril, pendebat tangguh sejak mahasiswa, yang pernah dicap sebagai komunis sehingga membuatnya dijauhi Orde Baru. Padahal, sejak muda, Yusril cenderung memilih Masyumi, dan hal itu diwujukan dengan mendeklarasi Partai Bulan Bintang (PBB), yang diklaim sebagai penerus gagasan Masyumi.
Pengamat politik dari Belitung, Rosihan Sahid, mengatakan, Belitung dalam sejarah politik memang cenderung ”hijau” sejak pemilu pertama digelar tahun 1955. Namun, bukan berarti partai Islam sukses mengakar di Belitung.
”Warga Belitung tidak terlalu mempertimbangkan ideologi partai. Warga lebih memperhatikan rekam jejak tokoh dan keluarga mereka dalam jangka panjang,” ujar Rosihan, yang juga kerabat Aidit itu.
Rekam jejak itu terlihat pada keluarga Yusril Ihza, Aidit, dan Ahok. Ayah Aidit, yakni Abdullah Aidit, lebih dikenal sebagai pendidik dan tokoh agama ketimbang tokoh politik. Abdullah Aidit, antara lain, mendirikan madrasah di Tanjung Pandan, Belitung.
Sementara itu, ayah dan paman Yusril Ihza adalah pemuka agama terkemuka di Manggar. Ayahnya lama menjadi penghulu. Pamannya kerap membantu memandikan jenazah.
Keluarga Ahok dikenal sebagai donatur tanpa pamrih. ”Mereka kerap membantu siapa saja meski tidak kenal. Bantuan itu diberikan kapan saja, bukan hanya mendekati pemilu untuk mencari dukungan sesaat,” tutur Rosihan lagi.
Dengan bekal rekam jejak keluarga itu, mereka mudah mendapatkan dukungan saat masuk ke kancah politik. Publik Belitung cenderung mengikuti pilihan politiknya sesuai hati nurani. Namun, kecenderungan itu bukan tanpa didasari sikap kritis. Ahok dan keluarganya tidak mengandalkan dukungan primordial. Ahok dipilih oleh masyarakat Melayu yang merupakan bagian terbesar penduduk Kabupaten Belitung Timur karena pertimbangan rasional dan bukan sektarian yang membedakan orang berdasarkan suku ataupun keyakinan.
Anhar, seorang warga Melayu asal Belitung Timur yang aktif di organisasi Masyumi, mengaku sepenuh hati mendukung Ahok dalam pencalonan Bupati Belitung Timur lalu. ”Kami melihat hati dan amalan seseorang. Itulah kenapa banyak orang mendukung Ahok,” kata dia.
Demokrasi warung kopi
Warga Belitung memiliki ruang demokrasi terbuka untuk membangun daya pikir kritis dan dewasa. Ruang itu terutama di meja warung kopi yang tersebar di sejumlah penjuru. Warung kopi di Manggar dan Tanjung Pandan adalah tempat diskusi utama orang Belitung. Mereka membahas apa saja, mulai dari pengurusan aneka surat terkait pemerintah, gosip politik, sampai pencuri di kampung.
Warung demi warung dan meja demi meja di ajang demokrasi harian itu secara spesifik menjadi ruang partisipasi rakyat membahas segala sesuatu. Peminat politik akan bergabung dengan kelompok yang berbincang politik. Peminat bisnis akan bergabung dengan sesama orang yang sedang membahas peluang dan perkembangan bisnis. Warung demi warung berdiri berdampingan memberi ruang pendidikan politik ala Belitung itu. Semakin malam, suasana di warung kopi pun kian hangat.
Bahkan, orang Belitung lebih percaya kabar yang didapatkan di warung kopi dibandingkan dengan dari media massa. ”Kalau mau tahu apa yang terjadi di Belitung, tidak perlu melihat berita televisi atau membeli koran. Datang saja ke warung kopi,” ujar Akuan (45), seorang pelanggan warung kopi Ake di Tanjung Pandan.
Di warung kopi, penjual sayur sampai anggota DPRD mempunyai hak berbicara yang sama. Mereka menyampaikan pandangan masing-masing atas suatu masalah. ”Kami bisa mendapat beragam pandangan di sini. Sedikit banyak, itu membantu membuat keputusan,” ungkap Akuan lagi.
Kekritisan orang Belitung juga terbangun oleh trauma peristiwa 1965. Saat ini, seperti di sejumlah wilayah Indonesia, banyak orang tiba-tiba dipenjara atau paling sedikit diperiksa bertahun-tahun oleh aparat. Sebagian dari mereka memang aktif di PKI dan organisasi sayapnya. Sebagian cuma karena pernah terdaftar hadir saat ada pertemuan yang diselenggarakan PKI atau organisasi sayapnya.
”Saya sekali ikut rapat Pemuda Rakyat dan hadir sebagai anggota organisasi pemuda lain. Namun, nama saya masuk daftar. Setelah 1965, bertahun-tahun saya diperiksa militer,” imbuh Ramsi (66), warga Tanjung Pandan.
Setelah kejadian itu, Ramsi memilih menjauh dari hiruk-pikuk politik. Dia hanya berdiskusi tentang banyak hal, termasuk politik, di warung kopi. Karena itu, dia sama sekali tidak mau terlibat politik dalam bentuk apa pun. ”Buat apa berpolitik kalau ujung-ujungnya terborgol,” tuturnya.
Itulah dinamika politik Belitung. Kemeriahan warung kopi di Belitung tidak tertandingi oleh dinamika di Bangka, yang memiliki banyak juragan timah bermodal besar. Masyarakat nelayan dan petani Belitung lebih memiliki kesadaran berpolitik yang rasional. Tokoh pembentukan Provinsi Bangka Belitung, Amung Tjandra Chen, berulang kali menegaskan nilai strategis Belitung. ”Bangka tidak berarti tanpa Belitung. Ikrar pembentukan Bangka Belitung dilakukan di Belitung,” ujarnya.
Warga dan dunia politik Belitung mungkin bagian kecil di Bangka Belitung, tetapi penting dan penuh dinamika.[Kompas]