Jokowi, kuda hitam dari Solo

0
141

Ahok.Org – Siapa yang tidak mengenal nama Joko Widodo alias Jokowi? Walikota Petahana Kota Surakarta (Solo) untuk dua kali masa bakti 2005-2015 tersebut sedang naik daun belakangan ini.

Nama Jokowi mulai dikenal masyarakat setelah berhasil menata 5.817 pedagang kaki lima di Solo tanpa menimbulkan kerusuhan. Dengan pendekatannya yang merakyat, Jokowi mampu mematahkan mitos yang mengatakan bahwa merelokasi PKL pasti menyebabkan bentrokan antara aparat Satuan Polisi Pamong Praja dengan para pedagang.

Jokowi mengakui proses pendekatan kepada pedagang agar direlokasi tidaklah mudah. Dia harus menjalin komunikasi berbulan-bulan dengan perwakilan pedagang hingga akhirnya mereka bersedia pindah ke tempat baru, Pasar Klithikan.

Di bidang kesehatan, Jokowi meluncurkan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS). Dengan program tersebut, setiap warga Solo di luar pemegang Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin (Askeskin), Askes, dan asuransi kesehatan lain bisa mendapat kartu PKMS dan memperoleh layanan kesehatan dengan biaya dari APBD.

Walikota yang juga dulunya sebagai pengusaha meubel tersebut dikenal sebagai pemimpin yang memihak “wong cilik”. Hal tersebut dibuktikan lewat kebijakannya untuk memberdayakan pasar tradisional dan membatasi pembangunan mal di Solo.

Geliat Jokowi tidak berhenti di situ saja. Masih segar di ingatan, pada beberapa bulan kemarin, Jokowi sempat membuat heboh dengan mengusung mobil produksi lokal Kiat Esemka sebagai mobil dinasnya di Solo walaupun pada akhirnya tidak lolos uji emisi di Tangerang. Tingkah “Wong Solo” yang disambut baik masyarakat tersebut tak ayal menjadi inspirasi bagi sejumlah tokoh nasional untuk ikut-ikutan “eksis” mendukung bakal calon mobil nasional tersebut.

Karena dianggap sebagai pemimpin yang bisa membawa perubahan dan peduli terhadap kehidupan masyarakat Solo, Jokowi, pada Oktober 2010, memperoleh Bung Hatta Award 2010 bersama bersama Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto.

Keduanya dipilih berdasarkan penilaian terhadap faktor komitmen, integritas, kepemimpinan, dan dampak dari berbagai reformasi birokrasi khususnya dalam bidang pelayanan publik yang telah mereka lakukan.

Menuju DKI-1

Bermodal pengalamannya dalam menata Kota Solo, baru-baru ini, pria berperawakan kurus “klimis” tersebut akhirnya bersedia mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur DKI 2012 bersama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai bakal calon wakil gubernurnya dengan diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Sebagai tokoh yang datang dari daerah untuk maju di “sirkus demokrasi” DKI pada 11 Juli mendatang, tantangan yang tidak “enteng” hadir di depan pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 tersebut.

Namun, dengan membawa panji-panji keberhasilannya di kala memimpin Surakarta, Insyinyur lulusan Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985 itu cukup percaya diri untuk mengemban tugas dari partainya dalam pencalonan diri di bursa gubernur DKI 2012.

“Pokoknya, bismilahirahmannirahim, kami berdua yang muda-muda ini ingin membawa perubahan, ingin melakukan terobosan-terobosan. Ingin melakukan gerakan-gerakan perubahan di Jakarta ini. Kami tidak ingin semuanya berjalan monoton, berjalan seperti rutinitas, kami akan melakukan perubahan,” kata Joko Widodo setelah mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur DKI di Kantor KPU DKI, Jakarta, Senin (19/3).

Sebenarnya, Jokowi tidak ingin mencalonkan dalam bursa calon gubernur DKI setelah menjabat di periode dua kepemimpinannya di Solo. Walikota Solo, yang juga berprofesi sebagai pengusaha meubel rumah dan taman tersebut, ingin kembali ke keluarganya setelah itu.

Namun, belum habis masa kepemimpinannya di Solo, datang tugas baru dari partainya untuk mencalonkan diri di Pilgub DKI 2012.

Untungnya, Istri Jokowi, Iriana, mendukung langkah suami tercintanya untuk maju sebagai kandidat calon gubernur DKI mendatang.

“Meski demikian saya ingatkan juga, kalau sudah siap maju artinya juga siap menang dan siap kalah…. Ya kita dukung dengan doa. Saya sebagai istri siap mendampingi dan menghadapi tantangan apa pun,” kata Iriana.

Pencalonan Jokowi pun menimbulkan kecemasan tersendiri bagi istrinya. Dia khawatir berat badan suaminya yang berperawakan kurus tersebut akan terus merosot selama masa kampanye yang dipastikan akan menguras tenaga dan pikiran.

Oleh karenanya, Iriana menyatakan siap boyongan ke Jakarta untuk mendampingi suami selama masa kampanye Pilgub DKI 2012.

Iriana juga akan membuatkan jamu untuk sang suami setiap pagi untuk menjaga stamina dan kesehatannya.

“Setiap pagi saya bikinkan ramuan jamu dari kacang hijau, temulawak dan jahe. Saya juga selalu mengingatkan suaminya agar tidak lupa makan agar kesehatannya tetap terjaga”, kata Iriana.

Dukungan untuk Jokowi juga datang tidak sebatas dari simpatisan partai yang dikenal sebagai partainya “wong cilik”, namun juga datang dari Partai Bintang Reformasi (PBR) DKI Jakarta.

“PBR mendukung Jokowi karena sudah terbukti berhasil memajukan Kota Solo hingga seperti sekarang. Jokowi merupakan sosok yang tegas, kreatif serta mau mendengar dan melayani rakyatnya,” ujar Ketua DPW PBR DI Jakarta H Fathi R Shidiq.

Kota Solo yang semula kumuh dan semrawut berhasil ditata menjadi indah dan aman. Kesejahteraan rakyat Solo juga tumbuh pesat karena semua potensi ekonomi rakyat mampu dikembangkan sehingga tidak tergilas pemodal besar seperti pemilik mal dan supermarket, kata Fathi.

Fathi menilai Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi nasional, memerlukan figur pemimpin yang sudah teruji mampu menyelesaikan masalah perkotaan secara tegas, transparan dan memiliki komitmen kuat untuk mengedepankan kepentingan masyarakat luas secara manusiawi.

“Mari kita ucapkan selamat tinggal kepada pemimpin yang tidak pro-rakyat dan cuma mengandalkan pencitraan serta `money politics` untuk membodohi rakyat. Selanjutnya, mari kita sambut dan dukung pemimpin seperti Jokowi untuk kemajuan rakyat dan akan menjadi inspirasi serta contoh bagi para pemimpin Indonesia lainnya,” kata Fathi.

Menjadi “Kuda Hitam”?

Sebelumnya, Jokowi sempat digadang-gadang oleh PDI-P untuk dipasangkan sebagai wakil dari Gubernur “incumbent” Fauzi Bowo untuk bursa Pilgub DKI 2012 mendatang.

Namun, Jokowi menolak kebijakan partainya jika dirinya hanya dicalonkan sebagai bakal calon wakil gubernur.

PDI-P kemudian mencalonkan Adang Ruchiatna sebagai bakal calon wakil gubernur untuk Fauzi Bowo menggantikan Jokowi.

Menjelang akhir pendaftaran bakal calon di Komisi Pemilihan Umum DKI, koalisi yang dihimpun PDI-P dan Partai Demokrat akhirnya pecah. PDI-P bersama Partai Gerindra kemudian mengusung pasangan Jokowi-Ahok untuk maju dalam Pilgub 2012.

“Kehadiran Jokowi-Ahok telah membuat komunikasi politik yang sudah dibangun jauh-jauh hari menjadi berantakan. Pasangan tersebut juga sangat populer sehingga partai besar di kota ini seperti Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera takut dan kemudian mengambil langkah terburu-buru,” kata Pengamat Politik Universitas Diponegoro, Ari Junaedi.

Partai-partai besar lainnya, seperti Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memang terkesan “tergesa-gesa” karena kader-kader mereka baru siap menjelang akhir batas pendaftaran bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI.

Partai Demokrat baru menentukan Nachrowi Ramli sebagai calon wakil Fauzi Bowo pada hari terakhir pendaftaran bakal calon.

Sedangkan, PKS yang merupakan partai terbesar kedua di Jakarta berdasarkan pemilu sebelumnya, juga membuat kejutan dengan mengajukan Hidayat Nurwahid-Didik J Rachbini di menit-menit terakhir batas akhir pendaftaran, meskipun sebelumnya dikabarkan akan mengusung Triwisaksana.

Walaupun tidak kalah populer dengan kandidat calon yang diusung oleh partai-partai besar tersebut, rekam jejak Jokowi dan Ahok saat memimpin Kota Solo dan Kabupaten Belitung Timur dipandang bisa menjadi alat kampanye yang cukup efektif untuk meraup suara di Jakarta.

Untuk pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dari Partai Demokrat, Ari berkomentar bahwa peluangnya akan sulit karena kepemimpinan Fauzi Bowo selama lima tahun terakhir dinilai tidak banyak menghasilkan perubahan untuk Jakarta yang lebih baik.

Di sisi lain, reputasi bakal calon gubernur dari Partai Golongan Karya, Alex Noerdin sebagai Gubernur Sematera Selatan yang sukses menyelenggarakan ASEAN Games (SEA Games), juga sedikit tercoreng karena kasus korupsi Wisma Atlet yang juga merupakan bagian dari SEA Games meskipun Alex belum terbukti terlibat.

Sedangkan untuk kedua pasang bakal calon dari jalur independen, Faisal Basri-Biem Benjamin dan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria walaupun dipandang mempunyai kompetensi untuk memimpin Jakarta, namun dirasa sulit untuk memenangi pemilu apabila tidak memiliki mesin partai politik.

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pasangan Jokowi-Ahok menjadi penantang yang tidak akan disepelekan bagi gubernur incumbent Fauzi Bowo dan pasangannya,Nachrowi Ramli, maupun pasangan bakal calon yang lain karena PDI-P dan Partai Gerindra mempunyai suara yang cukup besar di Jakarta.

Dihadang Isu Rasisme

Memang tidak ada peraturan yang menyebutkan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur DKI harus berasal dari Jakarta. Namun, isu rasisme sempat menyebar di atmosfer Pilgub DKI 2012 kali ini.

Sindiran datang dari sejumlah pihak yang memang berkepentingan dalam Pilgub DKI mendatang. Mereka mengatakan bahwa orang yang berasal dari daerah tidak mempunyai tempat untuk memimpin Jakarta.

Bahkan serangan bagi calon dari daerah tidak tanggung-tanggung membawa isu rasisme yang mengatakan bahwa warga Jakarta tidak rela kotanya “diacak-acak” oleh orang dari luar Jakarta yang dianggap tidak mengenal Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut.

Menanggapi serangan yang datang, Jokowi dengan enteng mengatakan kepada media, “Kita ini NKRI, Jakarta itu miliki semua lho, semua masyarakat Indonesia. Enggak perlu lagi bicara soal golongan, etnis, agama atau apapun lainnya”.

Tanggapan sportif justru datang dari bakal calon gubernur DKI dari PKS Hidayat Nur Wahid.

“Saya yakin, Jokowi maupun Alex Noerdin tidak ingin mengobok-obok Jakarta. Keberhasilan mereka memimpin di Solo dan Belitung Selatan, tak mustahil dibawa ke Jakarta,” kata mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat-RI tersebut.

Jakarta, sebagai Ibukota Negara, mempunyai populasi sekitar 10 juta penduduk dan dihuni oleh masyarakat multi-etnis dan multi-religi.

Berdasarkan sensus tahun 2012, sekitar 35,16 persen penduduk Jakarta adalah etnis Jawa, sedangkan 27,65 persen merupakan etnis Betawi. Sementara itu, etnis Tionghoa (5,53 persen) merupakan etnis terbanyak ke-tiga di Jakarta.

Jakarta juga menjadi ceruk bagi sejumlah etnis dari luar Jawa seperti Batak, Minang, Ambon, Melayu dan lain-lain sehingga menjadikan wilayah yang dahulu bernama Sunda Kelapa ini menjadi sangat majemuk.

Hal yang paling krusial bagi Jakarta saat ini mungkin adalah penanganan isu-isu teknis yang secara tidak langsung berdampak kepada masalah sosial di wilayah seluas 661,52 km persegi tersebut.

Ketika masyarakat Jakarta tidak lagi merasakan kehadiran pemimpin yang berhasil dalam mengatasi masalah-masalah seperti banjir, kemacetan, dan polusi udara di Ibukota, tidak tertutup kemungkinan bagi mereka untuk kemudian mencari pemimpin yang notabene memiliki rekam jejak bagus dalam pengalaman memimpin daerah yang dibarengi dengan keuntungan pencitraan yang tanpa cela dalam pesta demokrasi warga Jakarta yang akan digelar 11 Juli mendatang.

Proses pemilihan pemimpin DKI masa depan di Pilgub DKI 2012 pun akan diramaikan oleh sejumlah calon dari daerah dan juga multi etnis yang salah satu dari mereka akan menjadi “rekan seperjuangan” warga Jakarta dalam lima tahun ke depan.

Pada akhirnya, masalah utama bagi pembangunan Jakarta adalah bukan siapa dan darimana asal orang yang akan bisa membangun Jakarta, tapi bagaimana mereka akan membawa Daerah Khusus Ibukota lebih baik ke depan dengan mewujudkan visi dan misi mereka.[Antara]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here