“Mempercantik” Hubungan Pusat dan Daerah

0
39

(26/08) — “Mempercantik” Hubungan Pusat dan Daerah, Demi Merajut Keharmonisan Negara Kesatuan Republik Indonesia[1]. Memasuki era konsolidasi politik setelah masa transisi yang telah terjadi sejak kejatuhan rezim ototritarian hingga masa pemerintahan Megawati, seakan-akan kini Indonesia kehilangan arah dalam pengaturan mengenai hubungan pusat dan daerah. Maraknya peraturan daerah yang diskriminatif sebagai upaya tirani “mayoritas” di daerah lokal, kedaulatan di daerah perbatasan, distribusi kesejahteraan yang semakin timpang tingkat diskrepansinya, serta pola pembangunan yang tidak mengedepankan keunikan lokal serta local voices hanya merupakan sekelumit dari “segambreng” masalah hubungan pusat dan daerah.

Terobosan hukum dengan melihat daerah otonom sebagai lembaga negara sehingga dapat menjadi subjek dalam sengketa antar lembaga negara di mahkamah konstitusi bukanlah kreatifitas yang berlebihan. Pihak oposisi dari ide ini tentu akan menyebutkan ide untuk meletakkan daerah otonom sebagai subjek sengketa antar lembaga negara akan menciptakan federation flavour di bumi pertiwi. Belum lagi secara teori local government created by central government, sehingga tidak mungkin ciptaan menggugat sang pencipta, “manusia menggugat Tuhan”. Memang benar berbagai alasan tersebut. Akan tetapi, sudah saatnya dibutuhkan langkah progresif. Moto Bhinneka Tunggal Ika yang tercermin dalam prosesi slametan merupakan contoh nyata kemajemukan dapat hidup dalam wadah kesatuan. Eka bukan berarti mengecilkan bhinneka, meskipun diciptakan pemerintah pusat bukanlah Tuhan yang terlepas dari kesalahan. Justru acap kali pemerintah pusat terlena dan lupa akan kaum pinggiran, daerah perbatasan yang secara langsung berhadapan dengan kedaulatan lain.

Berdasarkan laporan pemantauan pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan di 16 kabupaten/kota pada 7 propinsi yang bertajuk “Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi Dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia” yang dikeluarkan oleh KomNas Perempuan pada Februari 2010, terdapat setidaknya 38 perda diskriminatif yang mengkriminalisasi perempuan dan 82 perda yang mengatur ibadah/kehidupan keagamaan. Hal ini mencerminkan bagaimana muncul perda-perda “liar” yang sudah lepas dari pilar negara dan philosophice grondslag Indonesia yaitu Pancasila. Mekanisme executive review yang dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri ternyata hanya terfokus pada pembangunan ekonomi. Begitu banyaknya pembatalan perda yang memperkeruh iklim investasi di daerah tetapi perda yang “memperkeruh” persatuan dan kesatuan grass root di daerah justru “disirami” dan “dirawat”. Selain itu, mekanisme kontrol berupa judicial review ke Mahkamah Agung kerap berujung pada status quo, hal ini dikarenakan dasar pengajuan judicial review perda yang hanya mensyaratkan legalitas (bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi) dan merit review (bertentangan dengan kepentingan umum), yang lagi-lagi definisi kepentingan umum begitu lenturnya dan sarat pemenuhan suara mayoritas.

Selain isu negara islam, perjuangan disintegrasi di daerah tidak jauh dari ketidakseimbangan atau kesenjangan ekonomi. Kembali lagi akar dari masalah ini ialah pengelolaan anggaran pusat dan daerah serta maraknya tumbuh raja-raja kecil di daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat berkutik lebih kuat lagi melawan mafia hukum, sedangkan komisi ‘serupa’ laiknya Komisi Yudisial, PPATK, Ombudsman lainnya melempem karena kewenangan yang terbatas. Tidak heran desakan pemekaran daerah tidak ada hentinya. Mendekatkan dana pusat ke daerah otonom baru diyakini sebagai salah satu solusi tetapi berujung pada masalah kronis lainnya. Berbagai nama daerah otonom baru dinyatakan “sakit” karena tidak dapat mengurus dirinya. Sehingga kunci penanganan kesejahteraan daerah dimulai dari pucuk pimpinan yang berani membuktikan harta kekayaannya secara terbalik.

Permasalahan suatu negara yang selalu terbayang akan masa lalu (pencarian jati diri), masa kini (isu perpecahan) dan masa yang akan datang (pembangunan ekonomi dan persaingan global) bagi Indonesia masih tersimpan secercah harapan. Tidak ada kata terlambat untuk mencoba dan bangkit dari keterpurukan. Sehingga begitu banyaknya corat marut, kacau balau, atau terminologi sekelas negeri para bedebah pun masih bisa dihadapi dengan semangat pancasila dan kebhinnekaan dalam eka. Mari merajut keharmonisan dengan meletakkan perbedaan sebagai pemicu perpecahan dan mengubah keragaman itu sebagai daya tarik dalam kekuatan persatuan.

Dwi Putra Nugraha/Peneliti CDT


[1] Ulasan singkat saripati Forum Diskusi Kristen “IKAN” yang diselenggarakan oleh Institut Leimena pada tanggal 25 Agustus 2010 di Nusantara II DPR RI.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here