Ormas Bermasalah

1
56

(31/08)—Menanggapi maraknya kekerasan yang dilakukan oleh beberapa ormas belakangan ini, Komisi II, Komisi III dan Komisi VIII DPR RI melakukan Rapat Kerja Gabungan dengan Menkopolhukam, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, Menteri Hukum dan Ham, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala BIN tanggal 30 Agustus 2010.

Rapat Kerja Gabungan tersebut (hanya) menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa:

Pertama, Rapat Gabungan Komisi II, Komisi III dan Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah menolak seluruh bentuk tindakan kekerasan atas nama apapun (suku, agama, kelompok etnis, kelompok kepentingan, dan lain-lain) karena bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

Kedua, mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum agar tegas dalam penegakan hukum terhadap perilaku-perilaku kekerasan dan anarkis oleh siapapun yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

Ketiga, mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum agar bertindak cepat dan tegas terhadap ormas yang perilakunya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Empat, segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana pandangan-pandangan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis yang berkembang dalam Rapat Gabungan DPR RI.

Keempat kesimpulan tersebut tidak menyebutkan secara tegas sanksi apa yang akan diterapkan kepada ormas-ormas tersebut. Padahal dalam UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah mengatur secara jelas mengenai jenis sanksinya, seperti membubarkan, membekukan, dan mencabut izinnya.

Kapolri mengatakan bahwa ormas bermasalah seharusnya dibekukan. Namun menurut Kapolri, pembekuan ormas bukanlah kewenangan Polri (Kompas, 31 Agustus 2010).

Masalah ormas tersebut tidak bakalan selesai apabila eksistensinya dibutuhkan oleh pemerintah daerah dan “dipelihara” oleh para elit politik tertentu yang saat ini berkuasa. Buktinya setiap kali kasus ini mencuat, penyelesaiannya hanya sebatas membahas bersama, merumuskan kesimpulan kemudian menghilang. Dibahas lagi apabila muncul masalah yang baru. Lebih tragis lagi adalah UU-nya yang dikambinghitamkan. Jadi sustansi permasalahannya sengaja dialihkan ke masalah aturan hukumnya. Mereka tahu bahwa membuat atau merevisi suatu UU itu membutuhkan waktu yang lama. Dengan demikian masyarakat akan melupakan masalah tersebut. Cara seperti ini sudah menjadi tradisi atau merupakan “dosa asal” bangsa Indonesia.

Di negara lain, hukum  benar-benar dipatuhi walaupun mungkin saja peraturan tersebut  bertentangan dengan logika berpikir orang Indonesia. Misalnya larangan untuk tidak meludah disembarang tempat, mematuhi rambu-rambu lalu lintas seperti lampu merah walaupun jalanan  sepi dll. Apakah kita kurang beradab? Entahlah! (Kamillus Elu, SH)

1 COMMENT

  1. Semua warga negara harus taat dan tunduk kepada hukum tanpa terkecuali.Para penegak
    hukum harus tegas dan berwibawa.Dengan begini tidak ada lagi ormas atau kelompok yang berani main hakim sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here