Catatan Mengenai Grand Design Kelembagaan DPR RI

0
65

(07/09)—Catatan Mengenai Grand Design Kelembagaan DPR RI (Sebagai Pelengkap Renstra DPR RI 2010-2014)



NO URAIAN CATATAN
1. Penguatan Kelembagaan melalui:

a. Badan Fungsional/Keahlian

Pasal 392 ayat (2) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan bahwa untuk mendukung pelaksanaan tugas DPR, dibentuk badan fungsional/keahlian yang ditetapkan melalui peraturan DPR setelah dikonsultasikan kepada Pemerintah. Sedangkan pada ayat (3), badan fungsional/keahlian secara fungsional bertanggung jawab kepada DPR dan secara administratif dikoordinasikan oleh Setjen DPR

b. Unit Pengawasan Internal

Dalam rangka membantu tugas BURT dan penguatan pengawasan internal, maka perlu dibentuk Unit Pengawasan Internal yang bersifat independen karena bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan DPR melalui BURT. Unit Pengawasan Internal secara administratif dikoordinasikan oleh Sekretariat Jenderal

c. Reformasi Kesetjenan

DPR melakukan reformasi kesetjenan mencakup penguatan kelembagaan kesetjenan, pembenahan ketatalaksanaan, dan penataan SDM.

Pembentukan badan baru tersebut sangat berpotensi melahirkan polemik dan kerumitan baru, apabila tidak didasarkan pada analisis kebutuhan dan desain pengorganisasian yang baik. Berbagai pertanyaan hingga relevansi kebutuhannya tidak dengan serta merta dapat dipahami sebagai sebuah langkah strategis DPR dalam memperbaiki kinerja legislasi.

Jauh sebelum munculnya rencana pembentukan unit baru tersebut, sebenarnya DPR telah merencanakan beberapa program peningkatan kapasitas legislasi, mulai dari pengadaan sarana dan prasarana hingga perekrutan tenaga ahli untuk setiap anggota DPR, yang kemudian diikuti untuk alat kelengkapan (17 orang tenaga ahli untuk Badan Legislasi, dan diikuti alat kelengkapan lainnya pada periode 2008-2009).

Terkait dengan agenda reformasi kesetjenan,  hal yang bisa direkomendasikan yaitu membagi struktur dukungan menjadi dukungan administratif dan keahlian melalui revisi Peraturan Setjen DPR Nomor 400/Sekjen/2005. Setjen DPR juga harus memperbanyak posisi fungsional dibandingkan struktural.

2. Kemandirian Pengelolaan Anggaran DPR

Dalam konteks pelaksanaan tugas konstitusionalnya, DPR memiliki tanggung jawab yang agak berbeda dibandingkan tugas-tugas eksekutif. Renstra DPR memprioritaskan terciptanya kemandirian dalam pengelolaan anggaran untuk mendanai kegiatan pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Adanya otonomi anggaran di DPR akan memungkinkan lembaga ini bekerja secara efektif. Hal ini dapat terjadi jika DPR memiliki otoritas sendiri untuk mengelola dan mengalokasi anggarannya. Satu contoh adalah dengan menganggarkan dana untuk menyediakan lebih banyak staf ahli bagi para anggota DPR.

Di beberapa negara yang sistem demokrasinya sudah berjalan lebih baik, anggaran parlemen dipisahkan dari anggaran negara. Sebagai contoh, pada House of Commos (Inggris) terdapat anggaran terpisah yaitu biaya yang terkait untuk anggota dewan dan semua biaya administrasi dan gaji staf. Di Rikdag (Swedia), terdapat anggaran kombinasi untuk semua yang terkait dengan anggota dan staf serta anggaran untuk otoritas parlemen. Sedangkan di Amerika Serikat, Kongres merancang anggarannya sendiri lalu memasukkannya ke dalam anggaran nasional yang dirancang eksekutif. Menurut tradisi, presiden selalu menerima usulan alokasi dana operasional lembaga legislatif tanpa komentar apa pun.

Apa yang terjadi di lingkungan parlemen Indonesia hari ini berbeda dengan praktek pada umumnya. Jangankan pemisahan, mekanisme monitoring penggunaan anggaran masih sangat minim. Belum ada kewenangan administrasi dan keuangan untuk merancang aturan dan prosedur internal DPR sebagai indikator otonomi lembaga legislatif. Malah masih ada ditemukan rincian dana operasional DPR sulit diakses oleh anggota DPR sendiri.

Satu hal yang perlu dicatat, kita tidak boleh berhenti hanya pada kerangka berpikir bahwa adanya amandemen UUD 1945 telah memberikan DPR mandat dan peran yang lebih besar dalam konteks pembentukan undang-undang harus didukung pula dengan ketersediaan anggaran yang memadai. Lebih dari itu, kita harus memastikan anggaran tersebut dapat melayani para anggota dengan fasilitas-fasilitas yang lebih baik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Selain itu, adanya dorongan agar lembaga parlemen mandiri dari segi penganggaran wajib diikuti dengan desain tata kelola anggaran yang transparan dan akuntabel. Bukan justru blunder, menyimpan atau menghasilkan potensi-potensi penyalahgunaan anggaran parlemen atau makin leluasanya anggota DPR, DPD, dan DPRD melakukan praktek KKN.

Publik harus mendapatkan informasi yang cukup bagaimana anggaran parlemen direncanakan, dibelanja, dan dipertanggungjawabkan. Perhatikan kesimpulan Tim Pengkaji Anggaran DPR dari Perspektif Perundang-undangan yang menghasilkan dua rekomendasi terkait dengan sistem anggaran di DPR[1]:

1. Anggaran DPR perlu disusun sesuai fungsi DPR, yaitu pengawasan, budget, dan legislasi. Sebagai lembaga legislatif, DPR perlu dikelola dengan sistem yang diatur dalam undang-undang.

2. Sistem penganggaran DPR harus jelas dan transparan, dan setiap anggota hendaknya dapat mengetahui anggaran DPR. Oleh karena itu, BURT sebagai perencana anggaran DPR perlu melaporkan hasil pembahasannya kepada rapat paripurna atau Bamus.

Rekomendasi dari Tim tersebut perlu dilengkapi dengan desakan agar Setjen DPR mempersiapkan format pertanggungjawaban anggaran DPR. Ini merupakan kelemahan mendasar yang selama ini mengemuka bahkan akhirnya menimbulkan konsekuensi buruk bagi anggota DPR karena mereka dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan pengeluaran dana secara tidak jelas.

Apa yang terjadi seandainya keinginan lembaga parlemen agar mandiri dari aspek penganggaran tidak disertai dengan sebuah konsep yang komprehensif, hingga menjangkau tuntutan transparansi dan akuntabilitas? Kredibilitas lembaga parlemen dan kepercayaan publik menjadi taruhannya.

Lantas, apakah keinginan agar parlemen mandiri secara keuangan mengharuskan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) dibubarkan? Mengingat peran BURT mendapatkan sorotan karena dituding merusak citra DPR dalam pengadaan berbagai fasilitas dan infrastruktur di lingkungan Senayan. Berbagai solusi mengemuka, mulai dari yang ekstrim dengan membubarkan BURT sampai yang moderat dengan tetap mempertahankan BURT tapi dikontrol ketat oleh fraksi.

Penghapusan BURT bukanlah pilihan yang baik. Sebagai perbandingan, di parlemen manapun selalu ada alat kelengkapan yang berkaitan dengan urusan internal atau kerumahtanggaan. Sebagai contoh, di parlemen Rumania terhadap Standing Bureau, yang memiliki empat ketua, masing-masing memiliki tanggung jawab yang berbeda sesuai dengan lingkupnya. Di parlemen Finlandia terdapat Chancellary Commission, yang komposisi keanggotaannya terdiri atas pimpinan parlemen, dua orang wakil, dan empat anggota parlemen.

Baik Standing Bureau maupun Chancellary Commission, sama-sama dibentuk oleh parlemen dengan tugas menentukan kebijakan internal parlemen, seperti menyusun rancangan anggaran parlemen, mengawasi pengelolaan anggaran parlemen serta pelaksanaan tugas dan kewajiban sekretariat, dan melaksanakan hal-hal lain yang berhubungan dengan kerumahtanggaan parlemen.[2] Dengan demikian, seandainya pengelolaan anggaran DPR ditangani langsung oleh Setjen DPR berarti suatu kemunduran dan menghilangkan mekanisme kontrol terhadap pengelolaan anggaran DPR oleh Setjen.


Keberadaan BURT seharusnya mengontrol pengelolaan anggaran pada level kebijakan, bukan pada tingkatan teknis. Hal ini sesuai dengan sistem pengelolaan anggaran negara dimana DPR bukan sebagai pengguna anggaran. Jadi sekarang hanya tinggal membenahi mekanisme kerja BURT dan pembahasan anggaran DPR. Misalnya, terdapat pandangan akhir fraksi dalam pembahasan anggaran DPR di BURT, termasuk koordinasi antara wakil fraksi yang ada di BURT dengan pimpinan fraksi, sehingga nantinya jelas sikap fraksi berkaitan dengan anggaran DPR.

3. Pengembangan Prasarana Utama

Perencanaan pembangunan kawasan parlemen dan gedung DPR menjadi kepentingan yang mendesak untuk dilaksanakan, karena kapasitas dan dukungan yang tidak maksimal. Renstra DPR 2010-2014 memprioritaskan untuk melakukan evaluasi terhadap rencana dan rancangan yang telah disiapkan dan sekaligus melakukan persiapan untuk mengawali konstruksinya.

Salah satu temuan pada bagian Pokok-pokok Penjelasan tentang Rencana Strategis (Renstra) DPR Tahun 2010-2014 tertulis:

permasalahan gedung tidak dapat dibatasi secara fisik semata, namun perlu dikaitkan dengan rancangan sistem politik dan perwakilan rakyat serta sistem pendukung maupun unsur-unsur yang berada di dalamnya

Mengingat tidak ada keterangan atau penjelasan lebih lanjut dari pernyataan tersebut, muncul pertanyaan, yang dimaksud rancangan sistem politik dan perwakilan rakyat seperti apa? Dan apa relevansinya dengan keberadaan gedung?

Selain itu, ternyata Renstra DPR 2010-2014 memberikan prioritas bagi persiapan dan implementasi pengembangan kawasan gedung DPR. Prioritas seperti apa yang dimaksud? Bagaimana kaitannya dengan rancangan sistem politik dan perwakilan rakyat?

4. Perpustakaan Parlemen

Renstra DPR 2010-2014 juga merekomendasikan pembangunan dan pengembangan perpustakaan parlemen sebagai bagian terpadu perencanaan prasarana parlemen.

Meningkatkan kualitas ketersediaan koleksi dan jaringan melalui keikutsertaan program Global Legal Information Network (GLIN). Selain itu, untuk memberikan pelayanan yang efektif kepada anggota DPR maupun masyarakat umum, perlu ditetapkan alur penggunaan koleksi perpustakaan secara praktis.
5. Penguatan Sarana Representasi

Pasal 1 dan Pasal 205 Peraturan Tata Tertib DPR menyebutkan bahwa kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat melalui anggota DPR dapat dilakukan melalui Rumah Aspirasi. Renstra DPR 2010-2014 memprioritaskan terbangunnya rumah aspirasi sebagai amanat Tata Tertib DPR. Dukungan terhadap implementasi Rumah Aspirasi dilakukan melalui perumusan sistem, format, posisi, dan mekanisme utilisasi Rumah Aspirasi, terutama terkait tugas-tugas anggota DPR dalam merepresentasikan konstituen yang diwakilinya.

Sudah ada pernyataan dari Ketua DPR, 11 Agustus 2010, yang menyatakan akan menunda realisasi program rumah aspirasi.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tidak menyebut secara eksplisit istilah “Rumah Aspirasi”. Konsep tersebut dianggap sebagai turunan dari peran anggota DPR dalam menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf s dan Pasal 79 huruf i UU MD3. Istilah “Rumah Aspirasi” sendiri baru dapat ditemukan pada Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.

Tata Tertib DPR menyebutkan bahwa rumah aspirasi merupakan “kantor bersama anggota, tempat penyerapan aspirasi rakyat yang berada di daerah pemilihan anggota yang bersangkutan” (Pasal 1 angka 15).

Tata Tertib juga menegaskan bahwa pendirian Rumah Aspirasi bersifat opsional/pilihan. Hal ini jelas terlihat dalam Pasal 203 ayat (4) Tata Tertib yang berbunyi: “Selain dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota dalam satu daerah pemilihan dapat membentuk rumah aspirasi”. Kata “dapat” dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa pendirian Rumah Aspirasi merupakan opsi pelaksanaan representasi rakyat selain dari Kunjungan Kerja.

Dari pengaturan Tata Tertib tersebut jelas terlihat bahwa Rumah Aspirasi merupakan suatu mekanisme yang bersifat alternatif (pilihan), dan bentuknya adalah suatu Kantor Bersama (bukan per-anggota).

6. Pengembangan e-Parliament

Tuntutan terhadap peran DPR dalam menyerapkan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat selayaknya didukung oleh sistem komunikasi yang mudah diakses dan menjangkau masyarakat secara luas, dimana dukungan teknologi informasi menjadi prasyarat utama.

Revitalitasasi terhadap perpustakaan, arsiparis, dan pranata komputer, karena ketiga kelompok tersebut memegang peranan strategis terhadap dukungan pengolahan data dan informasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here