Sejak rapat kerja Komisi II dengan Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri pada hari Selasa tertanggal 30 November 2010, pembahasan tentang RUU Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pembahasan terhambat pada masalah jumlah pendiri partai politik. Media-media besar nasional pun menyoroti permasalahan ini dan menyatakan perdebatan ini tidak substansial. Para pakar pun mendukung pernyataan perdebatan Panitia Kerja RUU Perubahan UU Parpol ini tidak subtansial. Contoh saja Valina Singka Subekti (dosen FISIP UI) dan Siti Zuhro (Peneliti Politik LIPI), mereka menyebutkan pendirian partai politik merupakan kebebasan berasosiasi yang dijamin dalam pasal 28 UUD 1945 sehingga tidak perlu diperberat. (Lihat Kompas, Sabtu, 4 Desember 2010).
Akan tetapi, permasalahan pendirian partai politik tidak semata-mata berbicara mengenai kebebasan berserikat yang merupakan turunan dari kebebasan berpendapat yang merupakan non derogable right atau hak yang tidak dapat diderogasi/disimpangi. Jumlah pendiri partai politik pada titik ideal memang cukup dengan beberapa orang saja (dibawah sepuluh orang). Tetapi, ketika berbicara dalam konteks partai politik merupakan organisasi yang bersifat nasional (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Partai Politik), mau tidak mau perdebatan bergeser pada pembuktian partai politik yang sejak awal merupakan organisasi yang bersifat nasional. Partai politik kini, haruslah mencerminkan empat pilar demokrasi Indonesia yang salah satunya bhinneka tunggal ika. Partai politik modern Indonesia tidak seharusnya hanya sekedar wadah penyatuan ideologi, nilai-nilai, cita-cita kedaerahan, suku atau bahkan salah satu ras di suatu daerah tertentu. Partai politik modern Indonesia harus dapat mencerminkan persatuan dan mengartikulasikan suara nasional. Oleh karenanya, mau tidak mau pendirian partai politik harus dilihat dari persebarannya di 33 provinsi Indonesia. Partai politik kontemporer yang ada harus memiliki struktur organisasi hingga tingkat kabupaten/kota. Rekrutmen harus mencakup setiap wilayah di Indonesia, sehingga isu mengenai jawa-non jawa, timur-barat bisa hilang.
Opsi-opsi yang berkembang dalam panitia kerja berkisar pada empat pilihan jumlah pendiri partai politik. Pertama, jumlah pendiri 50 orang sesuai dengan undang-undang parpol yang lama. Kedua, 1000 orang sebagaimana penyusunan yang telah dilakukan di badan legislasi dengan perhitungan 33 provinsi dikalikan 30 orang pengurus yang harus ada di setiap provinsi dengan jumlah 990 orang dan dibulatkan menjadi 1000 orang. Ketiga, 625 orang yang berasal dari usul pemerintah, perhitungannya diambil dari 75% provinsi di Indonesia yaitu 25 provinsi dikalikan dengan 25 orang pengurus yang harus ada dalam tiap provinsi dengan hasil penjumlahan 625 orang. Dan keempat, 237 orang yang merupakan hasil perhitungan seper sejuta jumlah penduduk Indonesia.
Dari berbagai opsi ini, menurut penulis opsi pendiri partai politik harus disesuaikan dengan jumlah kabupaten/kota di Indonesia. Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu mengeluarkan desartada (desain besar penataan daerah) yang menyebutkan estimasi jumlah kabupaten/kota yang ideal sampai pada tahun 2025 kedepan. Menurut penulis jumlah inilah yang menjadi dasar jumlah pendiri partai politik di Indonesia pada masa modern.
Permasalahan teknis akta notaris bukanlah suatu masalah besar. Ratusan pendiri dapat diwakilkan oleh beberapa orang yang disertai oleh surat kuasa para pendiri lainnya. Sehingga syarat-syarat lainnya seperti badan hukum dapat dipenuhi. Paradigma partai politik juga tidak bisa disamakan dengan pendirian agama yang dahulu hanya berdiri di satu wilayah dan menjadi milik berbagai bangsa. Partai politik modern di Indonesia sudah saatnya melepaskan isu-isu sempit seperti kedaerahan, kecuali tentu saja partai poltik yang akan didirikan hanya merupakan partai politik lokal seperti yang ada di Aceh. Partai politik sudah seharusnya lebih menitik beratkan pada ideologi tertentu untuk memenuhi tujuan dan cita-cita negara.
Masalah apakah syarat pendirian partai politik memperberat dan melanggar konstitusi merupakan pendapat yang keliru. BAB XA tentang Hak Asasi Manusia di dalam UUD 1945 ditutup dengan Pasal 28J ayat (2) yang menyebutkan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang…”. Hal ini menunjukkan kebebesan berserikat dalam kasus ini pendirian partai politik, dapat dibatasi mekanisme prosedural pendiriannya. Salah satunya jumlah pendiri partai politik.
Jumlah pendiri partai politik yang disesuaikan dengan jumlah kabupaten/kota yang akan menunjukkan kebhinnekaan sejak awal pendirian partai politik bukan mempersulit tetapi menunjukkan keseriusan cinta tanah air dan negara, bukan cinta cita-cita kedaerahan yang sempit.
Dalam berbagai jajak pendapat pun, masyarakat kini jenuh akan banyaknya partai dan memilih untuk memiliki partai politik yang sedikit tetapi dapat menangkap dan menyerap aspirasi mereka dan dapat diejahwantakan dalam kebijakan publik untuk kemanfaatan bagi bangsa dan negara. Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia dan merupakan pilihan terbaik dari berbagai macam sistem pemerintahan yang ada memang akan menuju kesempurnaannya jika didukung dengan sistem partai poltik, multi partai sangat sederhana. Sehingga jumlah pendiri partai politik bukan untuk mempersulit tapi untuk menunjukkan keseriusan dan sifat kenasionalisan yang ada.
“Bhinneka Tunggal Ika? Obama aja ngerti, masa gue kagak”.
Dwi Putra Nugraha
Peneliti CDT