Pemiskinan Koruptor dan Indahnya Sebuah Gagasan

2
60

Ahok.Org (06/12) – Gayus-Baligate menjadi perbincangan publik terus-menerus selama pekan-pekan terakhir ini. Awalnya adalah beredar luasnya foto orang yang mirip Gayus sedang nonton pertandingan tenis di Bali. Hingga berhari-hari sesudah itu polisi masih “tenang-tenang” saja, seakan tak peduli akan jutaan rakyat Indonesia yang jengkel mengamati fakta bahwa sang terdakwa kasus mafia pajak itu bebas keluar masuk tahanan.

Sesungguhnya rakyat sendiri tak tahu pasti akan kebenaran foto Gayus tersebut. Hanya saja rakyat gemas melihat kinerja polisi yang memble. Meski telah didesak dari sana-sini agar polisi segera bertindak, herannya polisi malah lebih suka berkelat-kelit walaupun gagap. Sampai akhirnya, 15 November lalu, Gayus sendirilah yang mengaku bahwa orang yang di foto itu benar-benar dirinya.

Maka, layaklah pertanyaan ini diajukan: mengapa polisi, selaku penegak hukum, terkesan lemah sekali? Kalau begitu dapatkah kita memercayai profesionalitas Polri? Kalau ada “unit reaksi cepat” di tubuh Polri, apakah kenyataannya betul-betul sesuai dengan namanya? Ataukah sebenarnya bukan soal polisi yang tak becus bekerja, melainkan “uang yang bisa mengatur semuanya”? Artinya, karena polisi sudah terima uang, maka selesailah perkaranya. Tidakkah pelesetan “kasih uang habis perkara” (KUHP) itu terbukti dalam Gayus-Baligate?

Kompol Iwan Siswanto, mantan Kepala Rutan Brimob itu, akhirnya mengakui bahwa ia menerima Rp 368 juta dari Gayus sejak Juli hingga Oktober dengan nilai bervariasi setiap bulannya. Bersamaan mulai terkuaknya skandal itu, terungkap pula informasi bahwa mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji dan mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Wiliardi Wizar pun sesekali diperbolehkan keluar dari tahanan. Selain mereka, menurut Gayus, banyak lagi terpidana yang suka keluar-masuk.

Sungguh, ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi Kapolri Timur Pradopo. Bayangkan, di rumah tahanan yang dikelola khusus oleh Polri, masih bisa terjadi praktik busuk suap-menyuap. Ironisnya, pihak penyuap dan tersuap bukan hanya antara orang sipil dan polisi, tetapi juga antarsesama polisi (Komjen Susno Duadji dan Kombes Wiliardi Wizar). Ibarat kencing di teras rumah sendiri. Baunya tak sedap dan memalukan.

Menyikapi skandal tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menegaskan, tindakan penyuapan oleh Gayus terhadap aparat rumah tahanan sehingga bebas keluar masuk tahanan adalah pelanggaran yang serius. “Gayus harus dihukum seberat-beratnya, kalau bisa seumur hidup. Orang-orang seperti itu yang merusak Indonesia. Waktu diwawancarai, hanya ketawa-ketawa seperti tak berdosa. Padahal, jutaan orang dimiskinkan,“ ujarnya dalam sebuah diskusi publik 13 November lalu. Selain dihukum berat, lanjut Mahfud, orang-orang seperti Gayus juga harus dihukum dengan cara dimiskinkan.

Menanggapi usulan yang langsung disambut positif pelbagai kalangan itu, Gayus pun menangis. ”Jangan sampailah (dimiskinkan). Kasihan anak dan istri,” katanya sebelum memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 15 November lalu. Rupanya masih punya belas kasihan juga sang miliarder muda yang mantan pegawai negeri sipil golongan IIIA itu. Sayangnya, mengapa dia tak berbelas kasihan juga kepada para polisi yang disuapnya, juga kepada negara dan rakyat yang telah dirugikannya?

Dari Gayus, para pemimpin di republik ini seharusnya belajar untuk tak mudah iba melihat tangisan koruptor. Bahwa keluarga koruptor akan ikut menderita kalau si koruptor dimiskinkan, itu sudah merupakan konsekuensi logis dari perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Oleh negara, korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena sifat luar biasanya perbuatan jahat tersebut, maka layaklah jika pelakunya dihukum seberat mungkin dan hartanya dibekukan atau bahkan disita oleh negara. Dengan demikian diharapkan sang koruptor tak bisa lagi berbuat ini dan itu yang berpotensi menimbulkan kerugian lebih lanjut di pihak negara maupun pihak-pihak lainnya.

Pendeknya, Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat) harus bersikap tegas dan tak boleh bermurah hati kepada para koruptor. Jangan terlalu mudah memberi mereka remisi, apalagi grasi, apapun alasannya. Sebab, kalau koruptor yang satu diberikan, mengapa koruptor yang lainnya tidak? Bukankah pertanyaan seperti itu niscaya muncul terkait  dibebaskannya Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang sebenarnya masih harus menjalani masa tahanan tiga tahun lagi itu?

Saat Syaukani lepas dari penjara, ia langsung diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur. Selanjutnya ia akan beristirahat di sana, di rumah asri seluas 30 hektar yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit. Bayangkan, sudah mendapat hadiah istimewa (grasi), kaya-raya pula. Kira-kira apa kata orang tentang koruptor di Indonesia? Enak betul!
Pada 9 Desember 2004, di Istana Negara, saat pencanangan 2005 sebagai tahun dimulainya Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi dan Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengungkapkan kesedihannya karena Indonesia dijuluki sebagai negara dan bangsa yang korup oleh bangsa-bangsa lain. Saat bersamaan SBY mengeluarkan Inpres No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dan menandatangani kerja sama antara para gubernur seluruh Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rangka sosialisasi pemberantasan korupsi, pendaftaran serta pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Tahun 2009, di awal periode kepemimpinannya yang kedua, SBY berjanji untuk memimpin jihad melawan korupsi. Setelah terkuaknya Gayus-Baligate, SBY mengatakan skandal tersebut telah mencoreng wajah Pemerintah Indonesia. Terkait itu lantas apa maksudnya pernyataan SBY bahwa dia tak bisa mengintervensi kasus ini, mengingat dia juga pernah berjanji untuk “bekerja siang-malam dan berada di garda depan dalam pemberantasan korupsi”?

Ke depan, apa yang harus dilakukan terhadap Gayus? Pertama, selain menyita hartanya, semua informasi dari Gayus juga harus ditindaklanjuti secara serius. Kedua, ungkap tuntas kebenaran di balik Gayus-Baligate ini tanpa keraguan sedikit pun, meski mungkin akan membentur pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan. Jangan berhenti hanya pada perkara keluar-masuknya Gayus dari Rutan Mako Brimob, Depok, itu. Investigasilah lebih dalam perihal siapa saja yang berada di balik Gayus selama ini? Apa motif Gayus pergi ke Bali? Benarkah di sana ia hanya menonton tenis berhari-hari? Mungkinkah ada pihak-pihak tertentu yang telah mengatur agenda khusus untuk bertemu dengannya? Kalau ya, siapa dan apa tujuannya?

Ketiga, sebagai konsekuensi dari “pemiskinan” Gayus, maka para koruptor (baik yang berstatus terdakwa maupun terpidana) juga harus diperlakukan sama oleh aparat penegak hukum. Artinya, jangan ada diskriminasi. Demi tegaknya keadilan, para tersuap dan penyuap dalam kasus pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (2004) juga harus “dimiskinkan”. Itu sekedar contoh kasus. Masih banyak yang lain, yang menuntut keseriusan dan konsistensi semua pihak yang terlibat dalam penegakan hukum di negara hukum ini.(Investor Daily, 4-5 Desember 2010)

Victor Silaen (Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan)

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here