Keuangan Negara Terbebani

1
121

Ahok.Org – Sebagian besar lembaga nonstruktural tidak efektif melaksanakan fungsi dan tugasnya. Tidak sedikit pula lembaga yang fungsinya tumpang tindih dengan sesama lembaga lain dalam pemerintahan. Keberadaan lembaga nonstruktural tersebut dinilai hanya membebani keuangan negara.

Setiap tahun, anggaran negara untuk lembaga nonstruktural itu meningkat. Tahun 2008, pemerintah menganggarkan sekitar Rp 2,81 triliun dan tahun 2009 menjadi Rp 3,42 triliun. Tahun 2010, alokasi anggarannya menjadi Rp 14,9 triliun untuk 85 lembaga.

Demikian dipaparkan anggota Komisi II DPR, Basuki Tjahaja Purnama (Fraksi Partai Golkar), Senin (18/7). Kini terdapat 88 lembaga negara nonstruktural, selain 28 lembaga negara nonkementerian dan 34 kementerian. Deputi Bidang Kelembagaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN) Ismadi Ananda menyebutkan, anggaran untuk 88 lembaga nonstruktural itu mencapai Rp 38 triliun (Kompas, 18/7).

Data Kementerian PAN memperlihatkan, anggaran untuk lembaga nonkementerian setiap tahun juga cenderung naik. Menurut Basuki, sebagian besar anggaran tersebut dipakai untuk membiayai belanja pegawai. Jadi, keberadaan lembaga itu, khususnya nonstruktural, hanya membebani keuangan negara.

Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yuna Farhan di Jakarta, Senin, menambahkan, anggaran negara bukan hanya tersedot untuk lembaga nonstruktural dan lembaga nonkementerian, melainkan juga untuk satuan tugas (satgas) dan tim yang dibentuk di bawah Presiden atau Wakil Presiden. ”Yang sudah kami identifikasi ada sembilan badan di lingkungan Sekretariat Negara, serta kantor Presiden dan Wapres. Presiden juga membentuk staf khusus,” ujarnya.

Padahal, menurut Yuna, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengeluhkan, belanja pegawai kian membebani APBN. Namun, hingga saat ini tidak ada evaluasi terhadap segala macam lembaga nonstruktural, lembaga nonkementerian, lembaga ad hoc lain, dan kementerian.

”Pembentukan Satgas Tenaga Kerja Indonesia, misalnya. Itu berarti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) tak jalan. Mereka harus dievaluasi,” tutur Yuna.

Sekarang, jika terjadi masalah, ujarnya, pemerintah membentuk satgas atau tim dan merasa sudah menyelesaikan persoalan itu, padahal belum selesai. Pembentukan lembaga ad hoc juga memerlukan anggaran tak sedikit. Misalnya, setiap tahun Dewan Pertimbangan Presiden dibiayai Rp 48,8 miliar, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (Rp 14,7 miliar), Satgas Reformasi Birokrasi (Rp 1,1 miliar), Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan didanai Rp 479,6 miliar, serta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Rp 10,8 miliar). Angka itu belum untuk satgas, komisi, dan tim lain.

Tumpang tindih

Sebagian besar lembaga nonstruktural juga tidak efektif melaksanakan tugas dan fungsinya. ”Lembaga nonstruktural itu tak efektif bekerja. Sebenarnya kalau semua institusi resmi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, bekerja dengan baik dan benar sesuai konstitusi, negara ini tidak memerlukan komisi, dewan, atau badan di luar struktur pemerintahan,” kata Basuki.

Selain itu, menurut Arif Wibowo, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pemerintah juga tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap lembaga nonstruktural. Akibatnya, tugas dan wewenang lembaga nonstruktural tumpang tindih dengan lembaga nonstruktural lain, bahkan lembaga struktural pemerintahan.

Contohnya, Komisi Hukum Nasional. Tugas dan kewenangan lembaga nonstruktural itu hampir sama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tugas dan kewenangan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia juga tumpang tindih dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional juga punya kewenangan sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Pemerintah juga tak memiliki data yang jelas tentang lembaga nonstruktural. ”Jumlahnya tidak jelas. Kementerian PAN mengatakan ada 88 lembaga, sedangkan yang dilansir Sekretariat Negara ada 92 lembaga,” ujar Arif.

Menurut Arif, pembentukan lembaga nonstruktural paling banyak terjadi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pembentukan lembaga itu diduga sebagai politik pemerintah untuk membagi-bagi jabatan kepada pihak yang mendukungnya.

Dari 88 lembaga nonstruktural yang terbentuk hingga tahun 2011, sebanyak 41 di antaranya dibentuk berdasarkan keputusan presiden dan peraturan presiden. Delapan lembaga nonstruktural lain dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah dan sisanya sebanyak 39 lembaga dibentuk untuk memenuhi amanat undang-undang.

Basuki juga menengarai sebagian lembaga nonstruktural dibentuk untuk memberikan pekerjaan kepada mantan birokrat atau politisi. ”Kecenderungannya demikian. Kalau mereka mau dijadikan duta besar, jumlahnya banyak. Jadi, ditaruh di lembaga nonstruktural,” ujarnya.

Tanpa desain

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie mengakui, kelahiran lembaga nonstruktural itu dilatari niat mulia untuk mengurangi beban birokrasi dan efisiensi pelayanan umum. Namun, reformasi kelembagaan tanpa desain dan tidak dilakukan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan mengakibatkan disfungsi kelembagaan negara.

Semua lembaga dibentuk untuk kepentingan jangka pendek dan tanpa pemahaman substansial integratif. Fungsi lembaga lama yang dianggap terlalu gemuk akhirnya dialihkan ke lembaga baru. Praktiknya, lembaga lama tak lagi menjalankan tugas, lembaga baru belum efektif.

Jimly, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), memisalkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dibubarkan pascareformasi dan tugasnya dilimpahkan ke daerah. Lima tahun setelahnya, BKKBN tak lagi menjalankan tugas, sedangkan daerah juga tidak melakukan apa pun.

Ketua MK Mahfud MD mengungkapkan, banyaknya lembaga negara, baik nonstruktural, nonkementerian, maupun satgas dan tim, justru menghambat kerja pemerintahan. Selain tumpang tindih dan berbenturan, ada pemborosan anggaran karena pekerjaannya yang ganda.

Mahfud mengakui, bangsa ini dahulu memang tidak berpikir terlalu jauh mengenai penataan kelembagaan. Pembuatan lembaga dilakukan tanpa analisis yang dalam, cenderung reaksioner terhadap permasalahan yang datang dari hari ke hari. Hal semacam ini berujung pada pemborosan dan kegiatan yang tak tepat sasaran.[Kompas]

1 COMMENT

  1. Kalau sistem politik engga dirubah, mana mungkin Indonesia bisa maju. Semua rusak karena sistem politiknya, punya uang baru bisa dapat jabatan. Jadi kalau sudah menjabat cari modal balik, masa engga mau cari untung setelah modal balik ? Logika dapat menjawab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here