Ahok.Org – Hampir dua periode Joko Widodo, atau biasa disapa Jokowi, memimpin Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Banyak perubahan yang telah dilakukannya selama pengusaha mebel dan taman ini menjadi wali kota.
Selain menata pedagang kaki lima, transportasi publik, tata ruang kota, dia juga berhasil memberdayakan pengusaha kecil menengah. Satu lagi, Jokowi juga berhasil membangun ”brand”, identitas, Kota Solo dengan julukan ”The Spirit of Java”.
Kesuksesan Jokowi di Solo memang tidak banyak yang meragukan. Namun, apakah kesuksesannya memimpin di Solo itu bisa dibawa ke Jakarta, tidak sedikit yang menyangsikan.
Beberapa waktu lalu, setelah makan malam di warung angkringan di Jalan Fatmawati, Jakarta, ia meluangkan waktu khusus untuk menjawab keraguan itu. Obrolan yang berlanjut di kediamannya di Gang Arab, Pasar Minggu, Jakarta, pun berlangsung hingga larut pukul 01.30 dini hari.
Menurut Jokowi, anggapan bahwa Solo dan Jakarta berbeda memang lumrah, tetapi sesungguhnya dalam strategi mengatasi persoalan suatu wilayah tidaklah jauh berbeda. ”Di Jakarta memang ada ungkapan, ’Ini Jakarta, Bung!’ Sementara Solo terkenal dengan kehalusan bertutur kata dan bertata krama. Akan tetapi, jika sudah menyangkut persoalan ’perut’, tidak ada kasar dan halus,” ujarnya.
Jokowi mencontohkan, pedagang kaki lima dan warga Solo pernah mengancam akan merusak gedung wali kota ketika mereka merasa tidak diperhatikan. Hal itu mungkin tidak pernah terjadi di Jakarta. Namun, dengan pendekatan kemanusiaan, hal itu bisa dihindari di Solo.
Kelompok beraliran ”keras” juga ada di Solo, tetapi sejauh ini bisa berjalan harmonis dengan seluruh warga.
Pemimpin yang menggerakkan
Jokowi berpandangan, kunci sukses membangun Solo ataupun Jakarta adalah sama, yaitu terletak pada komitmen kuat serta kemampuan manajerial yang baik dan terarah dari pemimpinnya. Membangun organisasi itu mudah, tetapi bagaimana menggerakkan organisasi secara benar itulah yang tidak gampang.
Pemimpin harus dekat dengan warga dan dicintai rakyat sehingga saat membuat kebijakan pun bisa membuat warga senang, bukan yang bertentangan dengan rakyat. ”Pemimpin yang benar adalah bekerja benar dan benar-benar bekerja,” katanya menegaskan.
Pemimpin harus bisa memberikan contoh kepada warga. Pemimpin juga harus lebih banyak berada di lapangan, bukan menghabiskan waktu di kantor. Pemimpin sejati juga harus turun bertemu warga dan mau meninjau semua proyek bermasalah serta mencarikan solusi.
Memang tidak mudah mengubah keberadaan dan kebiasaan lama yang terus berlarut. Akan tetapi, kata Jokowi, jika ingin Jakarta maju, setidaknya itu yang harus dilakukan. Pemimpin harus membangun sistem. Setelah sistem terbangun, harus disertai dengan pengetatan manajemen kontrol. Fungsi pemerintah adalah mengatur dan mengendalikan, bukan memaksakan kehendak. tanpa memberikan solusi.
Membangun identitas kota
Pemerintah Provinsi DKI dan warga Jakarta juga perlu merumuskan brand, identitas kota. Jakarta adalah kota yang sudah berusia tua, tetapi saat ini belum memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan, yang membedakan dengan kota-kota besar di dunia. Selain dikenal sebagai kota macet, yang selalu diingat dari Jakarta adalah kota semrawut dan setiap tahun menjadi langganan banjir.
Hal itu berbeda dengan kota dan negara lain di dunia yang memiliki ciri khas. Sebut saja Paris, orang akan ingat dengan julukan sebagai Kota Mode. Saat menyebut Malaysia, orang langsung mengatakan Truly Asia.
Akibat tidak adanya identitas kota, pembangunan di Jakarta selama ini juga menjadi tidak terfokus. Kota ini tidak jelas akan dibawa ke mana. Pemerintah Provinsi DKI pun lebih mengedepankan pendekatan birokrasi dan administrasi dalam membangun kota tanpa memikirkan bagaimana mengemas menjadi sebuah kota dengan branding.
Di usianya yang ke-485, sudah saatnya Kota Jakarta berubah. Jakarta sudah waktunya dibangun dengan manajemen perencanaan dan pembangunan yang mengarah kepada sebuah kota dengan identitas yang sangat spesifik. Mengingat warga Jakarta yang sangat beragam, Jokowi mencontohkan, Jakarta bisa menjadi kota festival.
Identitas Jakarta ini tidak bisa diputuskan sendiri. Pemimpin tidak boleh sok pintar dan memaksakan keinginan kepada warga. Pemerintah ditambah para ahli hanya menuntun masyarakat dalam memilih identitas yang tepat.
Cara ini juga yang telah dilakukan Jokowi dalam membangun brand Solo. Masyarakat dilibatkan dalam lomba. Pemerintah menyediakan dananya. Setelah identitas ditemukan dan ditetapkan, pemerintah lalu menyediakan anggaran melalui APBD untuk membangun kota.
Meski Malaysia membutuhkan waktu 14 tahun untuk membangun identitasnya, dia yakin, enam bulan cukup bagi Jakarta untuk menemukan identitas yang tepat. Pembangunan ekonomi di Jakarta pun akhirnya menjadi lebih terfokus.
Fokus pada usaha kecil
Pembangunan perekonomian di Jakarta dinilai Jokowi masih jauh dari harapan. Hal itu terlihat dari adanya ketimpangan yang besar. Pelaku ekonomi besar mendapat porsi dan prioritas besar dalam pembangunan sehingga bertumbuh pesat. Sebaliknya, pelaku ekonomi skala kecil terbiarkan atau kurang mendapatkan perhatian, bahkan terkesan dihalang-halangi. Hal itu terlihat dari keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang selalu diusik dan digusur. Kalaupun relokasi dilakukan, PKL ditempatkan di lokasi yang tak menguntungkan sehingga kembali berjualan di tempat semula.
Seandainya terpilih menjadi gubernur DKI, Jokowi memastikan lebih memfokuskan pada kelas ekonomi kecil dan menengah. Sebagai orang yang berlatar belakang pengusaha, Jokowi sadar sepenuhnya bahwa pelaku ekonomi besar sudah sangat mudah mengakses permodalan sehingga tidak harus dibantu pemerintah.
Atas pertimbangan itu pula, dia memberdayakan PKL di Solo. Dalam menata PKL, pendekatan kemanusiaan dikedepankan. Pemerintah juga transparan dan memastikan lahan gusuran benar-benar digunakan sesuai dengan fungsi. ”Jika penggusuran ditujukan untuk merevitalisasi lahan hijau, jangan pernah nantinya digunakan untuk mal,” ujarnya.
Pendekatan itu pula yang dilakukannya ketika menggusur PKL barang bekas di Taman Banjarsari. Hampir tidak ada gejolak saat merevitalisasi lahan PKL yang sudah dihuni lebih dari 20 tahun. Sebelum ditertibkan, para PKL diajak bicara. Tidak hanya sekali, tetapi 54 kali. Setelah tujuh bulan dilakukan pendekatan kemanusiaan, para PKL pun akhirnya mau pindah dengan sendirinya. ”Tidak usah pakai digebukin,” katanya.
Sudah 23 tempat PKL di Solo yang direlokasi tanpa masalah. Kini malah banyak PKL lain yang meminta direlokasi. Disebabkan keterbatasan anggaran, ada 38 persen PKL yang belum direlokasi.
Setelah ekonomi skala kecil dan menengah tertata dan terbangun, pemerintah juga berkewajiban menjembatani pelaku ekonomi kecil, menengah, dan besar.
Birokrasi
Kunci lain dari keberhasilan pembangunan dan penataan Jakarta, menurut Jokowi, adalah penataan birokrasi pemerintahan. Biasanya, pelaksanaan pembangunan banyak terkendala karena birokrasinya yang lebih mengutamakan administrasi ketimbang penyelesaian masalah.
Ada perbedaan mendasar penyelesaian suatu masalah oleh pelaku usaha dengan pemerintah. Kalangan pengusaha selalu mencari penyelesaian masalah dengan cara sesimpel dan seefisien mungkin, sedangkan kalangan pemerintahan lebih mengedepankan tahapan aturan. Meskipun anggaran ada, kalau aturan tidak terpenuhi, pembangunan tak bisa dijalankan. Akibatnya, pekerjaan yang seharusnya bisa selesai dua minggu, bisa tertunda hingga dua tahun.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, sistem birokrasi perlu dibenahi. Perubahan ini tidak akan membutuhkan waktu lama, terlebih Jakarta memiliki banyak birokrat yang pintar. ”Sewaktu memperbaiki sistem birokrasi di Solo hanya dibutuhkan waktu 4-6 bulan,” ujarnya.
Yang dibutuhkan Jakarta justru komitmen pemimpin. Jokowi berkeyakinan, apabila seorang pemimpin jujur, dekat dengan rakyat, dan tidak memiliki kepentingan pribadi atau kelompok, semua pihak akan mendukungnya. Oleh karena itu pula, kendati dalam pemilihan kepala daerah dirinya hanya didukung partai politik tertentu, tetapi saat menjalankan pemerintahan setelah terpilih, ia pun tidak pernah membeda-bedakan.
Bagi Jokowi, partai politik merupakan wahana untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa. Setelah terpilih, pemimpin harus memikirkan dan menjadi milik seluruh warga. Hal itu pula yang dia coba lakukan di Solo sehingga pada Pilkada 2010 dia memperoleh 90,09 persen suara.
Jokowi berharap ”Jakarta Baru” yang akan dipimpinnya bersama Basuki Tjahaja Purnama pun menjadi milik semua.[Kandidat – Kompas]