[OPINI] Ahok, Magnet Kontroversi yang Dituduh Menuduh Komunis

19
619

Ahok.Org – Dalam pikiran orang yang normal, melakukan hal yang bersifat kontroversial bukanlah catatan yang masuk dalam agenda to do list. Beberapa individu yang sering kita lihat dengan sadar sengaja melakukan hal-hal kontroversial demi tujuan tertentu jelas bukan termasuk dalam kategori ‘orang normal’ di atas.

Bagi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sosok yang sering dianggap kontroversial, keadaan lah yang sesungguhnya membuat ia terlihat lain daripada yang lain. Falsafah hidupnya yang senantiasa memegang teguh nilai-nilai kejujuran membuatnya acap terlihat kontroversial ditengah maraknya kemunafikan dan pragmatisme.

Sebagian menyebutnya magnet kontroversi, sebagian lagi menyebutnya terlalu ceplas-ceplos, dan ada juga segelintir yang menuduhnya tukang cari sensasi. Apapun itu, yang jelas tiap komentar dan ucapan yang meluncur dari mulutnya senantiasa menjadi santapan empuk bagi awak media.

Sempat ditasbihkan sebagai tokoh kontroversial oleh salah satu media tanah air, Ahok memang beberapa kali mengguncang publik melalui sikap dan juga komentarnya terhadap isu-isu krusial di Jakarta dan juga nasional. Pihak yang ingin mencoba memancing di air keruh biasanya memanfaatkan sesuai kepentingan mereka dengan menciptakan isu yang memutarbalikkan fakta dan intisari dari pernyataan Ahok.

Satu contoh aktual adalah isu bahwa ahok menuduh warga yang menempati waduk Pluit yang tidak setuju direlokasi sebagai komunis. Isu ini menjadi bertambah panas dengan berbagai komentar kurang penting dari pihak-pihak pencari panggung dengan berbagai motivasinya.

Dari sisi Ahok sendiri, ia telah mengklarifikasi tudingan tersebut. Menurutnya, ia tidak pernah menyebut warga yang menempati waduk pluit sebagai komunis, yang ia sebut sebagai komunis adalah pemikiran bahwa warga yang menolak direlokasi ke rusun milik pemerintah berhak meminta ganti rugi materi atau lahan karena penggusuran tersebut.

Menurut Ahok, ganti rugi tersebut tidak bisa dilakukan karena waduk pluit merupakan tanah negara. Jika memaksakan ganti rugi, maka sama saja seperti menghalalkan penjarahan tanah negara oleh warga. Apalagi proses normalisasi waduk pluit sangat vital bagi upaya penanggulangan banjir yang tiap tahun mengancam Jakarta wailayah sekitar. Maka pendudukan waduk pluit bukan hanya menjarah tanah negara, namun juga menghalangi upaya pencegahan bencana yang vital bagi kehidupan jutaan warga. (sumber: http://liputan6.com)

Ahok memberi sebuah ilustrasi: apabila seseorang membangun rumah atau ruko miliknya dan melanggar ketentuan tata ruang, lalu didatangi dinas P2B (pengawasan dan penertiban bangunan) dan dilakukan penertiban sehingga bangunan tersebut harus dibongkar. Apakah dinas P2B wajib mengganti biaya kerugian pemilih rumah tersebut? Tentu tidak, karena telah melanggar peraturan, walaupun tanah tersebut tanah milik pribadi. Di kasus waduk pluit yang notabene tanah negara, jelas sulit diterima jika warga menuntut ganti rugi. Apalagi atas nama kemanusiaan sesungguhnya Pemprov DKI telah menjanjikan kepada warga untuk direlokasi ke Rumah susun. Dan faktanya adalah sebagian warga waduk pluit telah pindah ke rusun, sebagian lain yang merupakan warga pendatang juga dengan kesadaran sendiri pulang kembali ke kampungnya.

Disini jelas bahwa langkah yang ditempuh Pemprov DKI bukan bernafaskan komunis dalam konteks bagi-bagi lahan negara, namun juga bukan kapitalis yang menggusur warga untuk dijadikan area komersil tanpa sedikitpun memperhatikan nasib warga yang tergusur. Normalisasi waduk pluit ini merupakan contoh nyata kebijakan khas Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dimana sekelompok warga harus rela berkorban demi kepentingan rakyat banyak, dan pemerintah walaupun itu adalah tanahnya namun tetap punya kewajiban sosial untuk memastikan rakyatnya tidak terlantar begitu saja.

Disinyalir, kericuhan yang terjadi adalah akibat campur tangan oknum LSM yang sebelumnya telah mengajukan proposal pembagian lahan. Bahkan ahok sempat bergurau dengan “menantang” oknum LSM tersebut untuk menduduki lahan Monas, agar nanti pemerintah terpaksa bagi-bagi lahan monas tersebut ke warga, “lumayan kan emas monas bisa kita bagi-bagi’ sindirnya. (sumber: http://merdeka.com)

Serangan lain juga datang dari Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana yang mengatakan bahwa Ahok sakit jiwa. Sudahlah, mungkin ini hanya sekedar ungkapan frustasi dari seseorang yang terancam kehilangan pekerjaan apabila normalisasi waduk pluit terealisasi dan ancaman banjir dapat berkurang.

Berbicara mengenai komunisme jelas harus hati-hati, karena terkait dengan sejarah kelam bangsa. seperti dilansir oleh MERDEKA, bahwa sejarah telah mengajarkan kita bahaya aksi seperti ini. Tahun 1960-an, Partai Komunis Indonesia dan underbouwnya Barisan Tani Indonesia (BTI) seringkali mengkampanyekan isu tanah untuk rakyat. Sering terjadi aksi perebutan tanah milik tuan tanah atau para kiai yang memiliki tanah luas untuk dibagikan pada penggarap lahan.

Selain itu juga sering terjadi Perebutan lahan antara pemerintah dan para aktivis tani atau antar petani dengan tuan tanah. Seperti yang terjadi di daerah Jengkol, Kediri, Jawa Timur tahun 22 November 1961. Dan satu peristiwa kelam, yaitu peristiwa Bandar Betsy di Simalungun, Sumatera Utara. Ribuan petani menyerobot tanah milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Mereka menanam pohon pisang di area milik negara. Provokasi dan situasi panas disana menyebabkan kericuhan dan jatuh korban jiwa seorang anggota TNI, Pelda Soejono. Kejadian ini merupakan awal rivalitas yang meruncing antara PKI dan TNI AD, yang peristiwa demi peristiwa setelahnya kemudian tercatat sebagai sejarah kelam Bangsa Indonesia. (sumber: Merdeka.com)

Kembali ke kasus waduk pluit, berbagai alasan yang sering dikemukakan warga yang menolak direlokasi ke rusun adalah keberatan warga atas kewajiban sewa dan juga jarak yang jauh dengan tempat kerja. Pertama masalah sewa, bila kita merunut ke kasus warga korban banjir yang direlokasi ke rusun marunda, Mereka dikenakan tarif sewa rusun subsidi sebesar Rp 128.000-159.000 per bulan (di luar biaya air dan listrik). Biaya tersebut sesungguhnya bukanlah biaya sewa unit, karena harga sewa unit rusun marunda berdasarkan peraturan (Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012) jauh lebih tinggi dari nilai tersebut.

Nilai sewa yang dibebankan ke warga rusun sesungguhnya ibarat uang urunan untuk bersama-sama menjaga kebersihan dan ketertiban rusun. Apalagi sesungguhnya warga yang selama ini tinggal di waduk pluit juga bukannya bebas dari iuran, mereka ini menyewa dari oknum-oknum perebut lahan yang kemudian membangun rumah kos/kontrakan lalu disewa ke warga yang sekarang ini menjadi penghuni. Jadi sesungguhnya dengan pindah ke rusun, mereka membayar resmi ke pemerintah, bukan ke oknum. Aspek legalitasnya juga jauh lebih terjamin. Di beberapa kasus malah warga diuntungkan karena tarif sewa justru lebih murah. Simak saja testimoni Sarmi (35), penghuni Blok 7 Klaster B Rusun Marunda seperti dilansir KOMPAS: “Saya kena Rp 128.000 per bulan karena saya di lantai 5. Tarif itu lebih murah dibandingkan kamar kos di Muara Baru (Penjaringan) ukuran 3 x 7 meter Rp 500.000 per bulan”. (sumber: http://megapolitan.kompas.com)

Kedua, masalah jauh dari tempat kerja. Sekali lagi kita merunut ke kasus relokasi warga ke rusun marunda. Disana Dinas perhubungan Pemprov DKI telah menyiediakan bus dan kapal cepat rute Marunda-Muara Baru dengan tarif yang relatif terjangkau. Dan untuk warga yang berusaha di sektor informal (berjualan kelontong), rusun marunda yang ramai jelas merupakan peluang pasar yang lebih prospektif dibanding kawasan waduk pluit yang kumuh. Sehingga dua alasan tersebut sesungguhnya mentah dengan sendirinya. Kecuali kalau alasan yang sebenarnya adalah hilangnya mata pencaharian oknum warga yang menyewakan rumah yang dibangun di atas tanah negara. Kalau itu, emang nggak ada obatnya, bro…

Atau tuntutan relokasi harus di sekitar waduk pluit, tidak boleh jauh dari lokasi asal. Ini absurd, siapa yang mau membayari pembebasan tanah di sekitar waduk pluit untuk lalu dibangun rusun? Padahal ada rusun milik Pemda yang bisa langsung digunakan. Jika mereka memaksa syarat tersebut, apakah andai jika ada warga menduduki Monas, lalu pemerintah wajib merelokasi ke wilayah sekitarnya? Jadi harus membangun rusun di Merdeka Utara, gitu? Brilian sekali, mungkin saya juga akan rela disebut komunis jika itu membuat saya berkesempatan mendapatkan unit rumah di sebelah Istana Negara.[*]

*Artikel/Opini dari Iqbal Lubekran

19 COMMENTS

  1. artikel yg bagus sekali Pak Iqbal. memang skrg banyak LSM yg suka mendompleng nama ‘rakyat’ untuk kepentingannya sendiri. saya bangga sekali dgn Pak Jokowi & Pak Ahok yg tidak cuma mensejahterakan rakyat, tp juga meningkatkan kualitas kesadaran politik dan kemampuan berpikir kritis pada rakyat Indonesia. teruskan perjuanganmu!

  2. Untuk urusan-urusan seperti ini, sebaiknya dicari “oknum” yang bermain dibelakang case ini…sengaja dihembuskan karena ada kepentingan yang terganggu. Usul saya, sebaiknya ada meeting kordinasi antara pemerintah pusat, Pemprov DKI, ABRI dan Kepolisian RI, agar ditemukan kata sepakat kelanjutan dari program normalisasi waduk Pluit dan seluruh kali di DKI Jakarta…jika ada kesepakatan, niat baik dan persamaan visi dari semua pihak…pasti proses normalisasi akan berjalan lancar…Salam…Go…JB

  3. Maju trus Ahok itu orang2 penguasa lahan pluit yg gerah dan LSM yg sdh tdk punya sumber dana,sehingga mencari2 celah dari omongan ahok diperbesar yg maknanya cukup baik dan jelas.Bravo aHOK

  4. yg penting harus dilakukan mulai di upload oknum atau preman LSM yg mengajukan bagi hasil, supaya takyat tahu siapa aja dibalik itu, atau mungkin sponsor dari LSM tersebut udah pada ngacir…..

  5. Maju terus koh Ahok dalam memperjuangkan rakyat banyak.
    Dimana-mana kalo ada yang menegakkan kebenaran, penjahat macam preman LSM ini pasti menentang.
    Doa kami bersama koh Ahok dan Pak Jokowi.

  6. Maju Terussss Bpk JOKOWI & Bpk AHOK.
    Kita perlu Pemimpin yang tegas, berani tidak populer, jujur, satria, pro rakyat. Seperti Bang Ali Sadikin dengan membangun Jakarta dgn sederet prestasi berbagai proyek MHT, Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja, Jakarta Fair, merubah rawa-rawa peluit menjadi kota satelit, pelestarian budaya Betawi di kawasan Condet, judi, lokalisasi dll dengan segala pro & kontranya dengan berbagai kalangan.
    Bersyukur warga jakarta sekarang dapat menikmati hasil kerja keras beliau.
    Anjing menggongong kalifa berlalu dengan berbagai macam komentar tidak produktif selama kita beritikat baik & benar.
    LAWAN LSM berwatak PREMANISME !!!.
    SALAM JAKARTA BARU

  7. Semoga pak Ahok dapat bertindak tegas.
    Kasih rumah gratis
    Sekolah gratis (KJP)
    Kesehatan gratis (KJS)
    peralatan rumah tangga gratis
    Jika mereka masih menolak, gusur saja pak !!!
    Mereka itu bukan manusia !!!
    Tapi lintah darat yang menghisap pajak rakyat.
    Enak saja ….. Sudah merampok lahan hijau minta bagi tanah.

  8. yah biasalah…LSM banyak yg petualang alasanx demi rakyat miskin,stelah trima duitx, eh,,,kabur…dan bagi LSM yg sdikit lunak akn mengatakan “namax jga usaha, dapat ganti rugi sukur,,,ga dapt yah…blum rejeki,,,Busyet,,,
    Buat agan2 LSM sperti ini, cari kerjaan lainlah ya??? salah alamat jka ketemu Bpk Ahok yg emang bner2 bersih & transparan,soalnya ntar agan2 malu2in diri sendiri…smoga!!!

  9. Yang namanya Rakyat kecil mah dah trima kasih banget direlokasi dan dapat tinggal di Rusun. Cuma segelintir benalu dan siapa tuch si Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana yang bakalan kehilangan sabetan nya. Semoga usaha mulia Pak JB tetap berjalan lancar.

  10. Banyak yang mempermasalahkan soal penggusuran di waduk ini
    Nanti kalau waduk sudah bersih, ada tamannya, hujan nggak banjir, baru deh rame-rame setuju dengan apa yang dilakukan pak Ahok saat ini

  11. Pak Ahok harus belajar tentang cara melakukan sesuatu. Secara teoritis mungkin ada yang bagus, tapi cara mengkomunikasikan dan cara melakukan mungkin perlu dipercantik. Pak Ahok harus tahu bahwa rakyat kita ini bukan spt negara barat yang bebas nilai. Selain itu, jika simpatisan beliau berprasangka bahwa ada trik politik bermain di media, tentu mereka juga harus mengamini hal yang sama ketika terjadi kasus dengan parpol atau tokoh politik lain.

    • saya rasa sdh cantik langkahnya, ga pakai buldozer main gusur aja, tapi diajak bicara, diminta pindah baik2, ga pakai bakar2an, menjelaskan dgn jelas akan dipindah kemana, tarif berapa, kalao ga suka ya silakan pulang kampung… 🙂

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here