Menata Jakarta, Prioritas Jokowi-Basuki Merumahkan Warga Miskin

6
113

Ahok.Org – Bencana banjir awal tahun 2013 membuka tabir bahwa tingginya kepadatan penduduk di Jakarta membuat area publik turut dirambah sebagai permukiman. Bahkan, waduk yang semestinya menjadi pengendali banjir dijadikan hunian.

Waduk Pluit, yang memiliki luas 80 hektar, contohnya, dimukimi 16.000 keluarga yang tinggal di atas tanah ataupun di atas permukaan air waduk. Agar Waduk Pluit dapat berfungsi kembali sebagai pengendali banjir, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, terjun langsung mengajak warga di waduk itu untuk pindah ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Marunda, Jakarta Utara.

Tidak berhenti di Waduk Pluit, normalisasi waduk dilanjutkan ke Waduk Ria Rio di Jakarta Timur. Lagi-lagi, Jokowi mengadakan pendekatan secara langsung dengan mengajak warga di waduk itu makan siang bersama sehingga warga pun bersedia direlokasi ke rusunawa di Pulogebang, akhir September lalu.

Merumahkan warga miskin ke rusunawa menjadi agenda utama Jokowi-Basuki dalam menata Jakarta. Tujuannya tidak hanya meningkatkan kualitas hidup warga miskin, tetapi juga merebut kembali area publik sebagai ruang terbuka hijau dan tempat berkumpulnya warga. Pada ujungnya adalah menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan yang layak.

Tentu ini bukan pekerjaan mudah karena sejak 1981 Pemerintah Indonesia telah berupaya merumahkan warga miskin ke rusun, tetapi tidak pernah maksimal. Terhitung sejak tahun 1981, pemerintah mulai merumahkan warga miskin ke rusun dengan mendirikan tiga kompleks rusun di Tanah Abang (1981), Kebon Kacang (1984), dan Klender (1985).

Tahun 2007, pemerintah pusat kembali berusaha merumahkan warga lewat gerakan 1.000 menara yang menumbuhkan sejumlah rumah susun sederhana milik (rusunami) di Jakarta. Namun, kebutuhan tempat tinggal yang tinggi dan ketertarikan investasi properti di Jakarta yang cukup besar membuat warga miskin tak pernah bisa mengakses rusun yang disediakan pemerintah.

Akibatnya, hampir semua rusunawa dan rusunami di Jakarta ditempati warga kelas menengah yang membutuhkan tempat tinggal di Jakarta. Permukiman liar yang dihuni warga miskin pun tetap tumbuh subur di bantaran sungai, lahan kosong, dan area yang semestinya menjadi ruang terbuka hijau. Sementara gelombang urbanisasi yang didominasi kaum urban ke Jakarta terus mengalir dengan keterampilan terbatas.

Dengan segala problematika kependudukan di Jakarta, kini secara masif Pemprov DKI di bawah kendali Jokowi-Basuki merumahkan warga miskin. Hingga Oktober ini, tak kurang dari 1.800 keluarga dari warga Waduk Pluit, Waduk Ria Rio, dan dari sejumlah permukiman liar lainnya direlokasi ke rusunawa di Marunda, Jakarta Utara, dan Pulogebang, Jakarta Timur. Relokasi itu memanfaatkan 38 blok rusun milik Pemprov DKI Jakarta dan sumbangan pemerintah pusat hasil program 1.000 menara yang sejak dibangun tak pernah ditempati.

Namun, masih ada warga miskin yang harus dirumahkan. Di Waduk Pluit saja masih ada 15.000 keluarga lagi yang harus direlokasi. Sementara unit rusun yang tersedia saat ini tinggal 580 unit. Itu pun masih dalam perbaikan karena sejak dibangun pada 2007 tak pernah ditempati. Menurut Mei Nababan, anggota staf Unit Pengelola Rusun Wilayah I Jakarta Utara, perbaikan diperkirakan berlangsung hingga akhir tahun ini.

Penuh masalah

Upaya merelokasi warga miskin ke rusunawa bukan pekerjaan gampang. Persoalan itu tidak hanya datang dari warga yang resisten, tetapi juga oknum Pemprov DKI sendiri. Proses relokasi warga Waduk Pluit ke Rusunawa Marunda mengungkap berbagai masalah tersebut.

Warga yang menolak direlokasi, patgulipat oknum pemerintah yang mengomersilkan rusunawa, praktik alih sewa unit rusunawa oleh warga yang direlokasi, dan penghuni rusun yang menunggak sewa bertahun-tahun.

Penertiban pun dilakukan. Oknum pejabat dan pengelola rusun yang nakal diganti. Penghuni ditertibkan, antara lain, dengan pendataan, seleksi, dan daftar ulang. Tunggakan sewa yang ditaksir lebih dari Rp 2 miliar ditagih ke pemegang hak huni. Mereka yang terbukti menjual atau mengalihsewakan pun diusir dari rusun.

Direktur Utama PT Jakarta Propertindo Budi Karya Sumadi tak menampik lokasi menjadi permasalahan dalam memengaruhi keputusan warga miskin pindah ke rusun. Dua hal penting yang dipertimbangkan warga miskin saat direlokasi, yakni pekerjaan dan akses transportasi di tempat relokasi.

“Sesungguhnya warga miskin tidak mempermasalahkan tinggal di rusun. Namun, pekerjaan dan akses merupakan yang utama bagi mereka,” katanya.[Kompas.com]

6 COMMENTS

  1. kalau suatu perkara mau dilihat sebagai hal yang susah dan sukar, jadilah perkara itu sukar & berat. kalau mau lihatnya sebagai suatu perkara yg sederhana dan bisa diatur asal sistemnya jelas & dipahami, dilakukan secara konsisten dan bertahap, maka sgalanya jadi mudah dan lancar.

    coba tonton video klip supernanny jo frost, bagaimana kanak2 yang mengatur ortu mereka dan memerintah sebagai penguasa di rumah. chaos dimana2. bahkan ortu sampai berpikir untuk bercerai. Demikian juga pemprov DKI sebagai ortu dari warga jakarta yang punya banyak anak. Harus didirikan aturan main supaya setiap warga tanpa kecuali menjalankan aturan dengan baik tanpa kecuali. tidak ada perlakuan diskriminasi.

    Masalahnya, pemprov DKI tidak tahu mana yang beneran warga jakarta dan mana yang warga non-jakarta ( untuk masalah perumahan)

    begitu juga pendemo2 anarkhis dan tawuran2. mana pihak yang benar2 berdemo dan mana pendemo yang didatangkan dari luar jakarta untuk bikin rusuh jakarta ( untuk masalah keamanan fasilitas publik )

    dan untuk kemacetan, pemprov DKI harusnya mendata warga2 DKI yang punya kendaraan pribadi – ada berapa per rumah per keluarga dan punya garasi kah untuk menyimpan kendaraan tsb ataukah parkir di jalan bikin macet ???… RT/RW/Lurah bisa diberdayakan untuk atur hal tsb.

    untuk kesehatan, stiap warga harusnya tahu puskesmas mana, rumah sakit mana yang menangani dirinya bila ia sakit. jadi bila warga sedang berada di surabaya misalnya, rumah sakit manapun yang merawatnya, bisa minta data2 kesehatan si pasien langsung dari rumah sakit yang brtanggung jwb atas diri pasien tsb. jadi informasi kesehatan warga terpantau terus. bagaimanapun file kesehatan setiap individu haruslah dimiliki supaya penanganannya cepat & tepat.

    Begitu juga masalah pengangguran & penyaluran kerja. bila didata oleh pemprov DKI, bisa dipertemukan si pencari kerja dengan si perusahaan yang memiliki lowongan kerja.

    Pendataan itu adalah DASAR DARI SEGALANYA. kalau pe-er ini belum dikerjakan, maka hukum gali lobang tutup lobang terus berlanjut tak henti. Capek di awal…. tapi manis hasil kerja yang diperoleh selanjutnya 🙂

    • pendataan adalah dasar , dan inilah yang selalu di main main kan oleh masing2 departemen di pemerintahan dan para politikus, makanya bahkan Ibukota pun pendataannya dibuat semwraut apalagi di daerah, terlalu ego antar pejabat antar departemen, merasa seolah masing2 raja di kelas dan bidangnya sehingga tidak mau kerja sama akhirnya menyebabkan pendataan yang sembrawut

  2. tetep semuanya berawal dari moral dan akhlak PNS pemprov DKI Jakarta, dari Gubernur/Walikota/Camat/Lurah dan semua jajarannya….walau semua sudah disumpah jabatan secara agama, mereka masih berani melanggar….

    sebaiknya sumpah jabatan perlu ditambah perjanjian darah : BILA TERBUKTI SIAP BUNUH DIRI dan HARTANYA DISITA NEGARA

    Semoga PNS bisa ikhlas melayani masyarakat Jakarta dan mendapat ridho dari Allah SWT…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here