Grasi dan Jihad Melawan Korupsi

3
216

(17/09)—ENAK betul jadi koruptor di Indonesia. Cepat kaya-raya dan terhormat pula. Buktinya, di sebuah kotamadya, ada koruptor yang pernah didaulat menjadi ketua panitia pembangunan sebuah rumah ibadah. Buktinya, di sebuah ibukota provinsi, ada koruptor yang setelah bebas dari penjara malah dielu-elukan oleh rakyat, wakil rakyat dan pejabat pemerintah setempat yang menyambutnya di bandara.

Tapi kalau tertangkap lalu masuk penjara, bagaimana? Jangan kuatir, masih ada celah hukum yang bisa digunakan untuk memperoleh pengurangan masa tahanan. Di penjara pun, para koruptor bisa mendapat perlakuan istimewa asalkan sanggup membayar harga.
Kamar tahanan siap disulap menjadi seperti kamar hotel berbintang, lengkap dengan mesin penyejuk udara, kulkas, televisi, serta pelbagai furnitur dan perabotan modern. Ingat saja Artalyta Suryani, yang bahkan bisa mendatangkan dokter khusus kulit dan kecantikan ke hotel prodeonya.

Para koruptor sesekali juga bisa mendapatkan izin keluar tahanan menikmati udara bebas. Jika berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa hukuman, mereka bisa menikmati remisi di Hari Kemerdekaan dan hari besar keagamaan. Menyambut momen penting 17 Agustus 2010, misalnya, sebanyak 341 dari 778 terpidana korupsi mendapat hadiah remisi dari negara.

Betapa murah hatinya negara ini kepada para koruptor, sekalipun mereka sudah melakukan tindak pidana yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Buktinya Aulia Pohan, sang koruptor yang juga besan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kini berstatus bebas meski masa hukuman sesungguhnya masih setahun beberapa bulan lagi. Buktinya, Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, akhirnya diberi grasi walau masa tahanan yang harus dijalaninya masih tiga tahun lagi. Alasannya? Sang terpidana yang gurubesar ilmu ekonomi Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) itu menderita sakit parah.

Itulah pertimbangan yang dibuat Mahkamah Agung (MA) yang lalu disetujui Presiden. Seberapa parahkah sebenarnya Syaukani? Entahlah. Yang jelas, melalui tayangan di sebuah stasiun televisi swasta, 21 Agustus lalu, Syaukani masih bisa menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan wartawan. Bahkan beberapa hari lalu Syaukani sudah diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur. Seterusnya ia akan beristirahat di sana, di rumah asri seluas 30 hektar yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit.

Ternyata Syaukani masih kaya-raya, meski pengadilan sudah dua kali menuntutnya membayar ganti rugi. Dari mana harta sebesar itu diperolehnya? Hasil kerja-kerasnya bertahun-tahun sebagai dosen hingga menjadi gurubesar? Tak mungkin. Dari kelihaiannya mendayagunakan jabatannya selama menjadi bupati (2005-2008)? Kalau yang ini jawabannya sangat mungkin.

Tentang pembebasan Syaukani, menurut Ketua MA Harifin A Tumpa, itu bisa mengurangi kerugian negara. Sebab, pemerintah tak perlu lagi membiayai perawatan Syaukani selama sakit sebagai narapidana. Jadi, pertimbangan pemberian grasi itu dilakukan atas alasan kemanusiaan dan efisiensi. Kita tidak bicara lagi pertimbangan yuridisnya, tapi ke sosiologisnya, sisi kemasyarakatannya, untuk keadilan, ujar Hakim Agung itu.

Kita patut bertanya kepada sang hakim agung yang mestinya sangat arif itu. Mengapa kerugian negara harus dijadikan pertimbangan? Bukankah dana untuk itu memang sudah dianggarkan? Kalau niatnya mencegah kerugian negara, mengapa tak sekalian saja semua narapidana dibebaskan dari penjara? Tidakkah negara repot dan rugi membiayai kebutuhan hidup mereka setiap hari?

Tahun 2007, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Syaukani 2,5 tahun penjara serta mewajibkannya membayar denda Rp 50 juta dan uang pengganti Rp 34 miliar. Ia dinyatakan terbukti bersalah atas empat kasus korupsi sekaligus. Pertama, kasus korupsi dana perimbangan yang dibagikan dalam bentuk uang perangsang, dengan dugaan kerugian negara lebih dari Rp 93 miliar. Kedua, kasus korupsi dana pembebasan lahan untuk pembangunan bandara Kutai Kertanegara dengan dugaan kerugian Rp 15,25 miliar. Ketiga, kasus korupsi dana proyek feasibility study bandara dengan dugaan kerugian negara sekitar Rp 4,04 miliar. Keempat, kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial dengan kerugian sekitar Rp 7,75 miliar.

Pada 2008, MA memperberat hukuman Syaukani menjadi enam tahun penjara dan mewajibkannya mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 49,367 miliar. Mengapa jumlahnya kecil sekali? Bukankah uang yang dicuri Syaukani lebih dari Rp 100 miliar? Jadi, apa artinya gagasan memiskinkan koruptor yang sempat menjadi isu politik beberapa bulan silam? ”Kita jatuhkan hukuman pemiskinan,” kata Menkum HAM Patrialis Akbar di Pendopo Cahyana Kabupaten Cilacap sesaat sebelum kunjungan kerja ke Lapas Nusakambangan, 7 April 2010. Itu berarti, harta milik koruptor akan disita sampai koruptor itu jatuh miskin. Kebijakan ini dianggap layak diterapkan karena selama ini hukuman yang dijatuhkan tidak membuat jera pejabat atau orang yang berniat melakukan tindak pidana korupsi. Tapi sekarang, Patrialis jugalah yang ikut mengatakan Syaukani layak dibebaskan setelah membesuknya di rumah sakit.

Mengapa begitu mudahnya pejabat negara itu melupakan gagasan bagus yang pernah mencuat di publik? Selain merampas dan menyita harta koruptor, saat itu juga muncul ide tentang pemberian sanksi sosial dan penegakan hukum yang harus dipertegas. Sebab, selama ini, hukuman yang diberikan kepada koruptor belum maksimal. Buktinya, hukuman seumur hidup bagi koruptor yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi belum pernah diberlakukan. Padahal, hukuman berat itu penting untuk memberikan efek jera.

Langkah lainnya adalah mempersulit pemberian remisi, bahkan jika memungkinkan kebijakan tersebut dihapus. Upaya lain adalah mengaryakan narapidana korupsi, menjelang akhir masa penahanan. Misalnya dengan mempekerjakan mereka sebagai buruh perkebunan, penyapu jalan, dan semacamnya. Inilah yang dimaksud dengan sanksi sosial, yang diperkirakan akan efektif jika diberlakukan. Namun, semua ide bagus itu seakan menguap, karena para pemimpin itu hanya pandai bicara tapi tak pandai menindaklanjutinya. Presiden pun, yang pernah berjanji akan bekerja siang malam dan berdiri di garda depan dalam perang melawan korupsi, kini entah berada di mana. Bahkan tercatat dalam sejarah hukum Indonesia, inilah pertama kalinya presiden memberikan grasi kepada seorang terpidana korupsi. Mungkinkah negara ini juga korup, baik sistem dan institusinya, juga pemimpin dan aparatnya?

Pada 9 Desember 2004, di Istana Negara, saat acara pencanangan 2005 sebagai tahun dimulainya Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi dan Hari Pemberantasan Korupsi Sedunia, SBY pernah mengungkapkan kesedihannya karena Indonesia dijuluki sebagai negara dan bangsa yang korup oleh bangsa-bangsa lain. Bertepatan dengan acara tersebut SBY mengeluarkan Inpres No 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Pada acara itu juga ditandatangani kerja sama antara para gubernur seluruh Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka sosialisasi pemberantasan korupsi, pendaftaran serta pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara.

Tahun 2009, di awal periode kepemimpinannya yang kedua, SBY berjanji untuk memimpin jihad melawan korupsi. Tapi setelah ia memberi grasi kepada Syaukani, apa arti janji tersebut? Tidakkah setelah Syaukani, para koruptor lainnya niscaya menyusul meminta grasi? (Harian Pelita, 17 September 2010)

Oleh Victor Silaen – Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.

3 COMMENTS

  1. Korupsi merupakan penyakit kronis bagi bangsa Indonesia.Penyakit ini telah lama menggrogoti sendi sendi bangsa kita.Kita prihatin dan cuma bisa berharap Presiden bisa menepati janji janjinya.Kita ingin ketua kpk,jaksa agung dan kapolri yang baru dapat menjalankan tugas,amanat dan tanggung jawab dengan sebaik baiknya.

  2. Kenapa Indonesia tidak pernah tegas menindak korupsi? kenapa presiden ikut andil dalam pemberian grasi dan remisi kepada orang orang yang memiskinkan dan menyengsarakan rakyat?
    Apakah Indonesia akan selalu berkompromi dan bertoleransi kepada orang orang tersebut sementara yang membayar hutang hutang negara adalah anak cucu kita. Tetapi kita membiarkan semua itu di curi didepan mata kita?
    Sebagai negara yang cukup religius, saya rasa hukuman yang dibuat malah sangat jauh dari nilai religius yang kita panut. Life sentence dan pengambil alihan hak atas kekayaan tersebut menjadi milik negara adalah harga yang pantas untuk orang orang yang memiskinkan Indonesia dan membuat Indonesia menjadi bertambah bodoh. Sometimes it is very hard thing to believe that the country can be changed for the better. tetapi harapan untuk itu harus selalu ada. the question is

    How can we change something that been cultured for centuries? How can we trust our goverment to change whilist to become a goverment service..you have to provide money? HOW?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here