Konstitusi Hanya Menghendaki Satu UU Pemilu

0
69

Pemilu seharusnya hanya dilakukan satu kali saja terutama pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD Prov. dan DPRD Kab/Kota sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (2) bahwa:

“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian seluruh ketentuan yang mengatur tentang pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) harus dituangkan dalam satu undang-undang tentang pemilu. UU tentang Pemilu tersebut memuat ketentuan yang tertuang dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5). Jadi Pemilu diselenggarakan secara serempak dengan menampilkan 5 (lima) kotak pemilihan Umum.

Hal itu dikemukakan Harun Kamil, Ketua Forum Konstitusi pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI dengan Forum Konstitusi Selasa, 27 April 2010 di Jakarta. Lebih lanjut dikatakan bahwa:

Pemilu yang serempak juga diharapkan akan memberikan dampak positif lain, seperti:
1.    Tingkat ketegangan politik tidak berkepanjangan sehingga memberikan kesempatan yang lebih luas bagi pelaksanaan pembangunan demi peningkatan kesejahteraan rakyat.
2.    Biaya penyelengaraan pemilu lebih efektif.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa UU Penyelenggara Pemilu dan

UU Pilpres sebenarnya tidak diperlukan lagi. Harun mengatakan bahwa motivasi yang menjadi latar belakang penetepan rumusan Pasal 6A ayat (2) adalah:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, sebagai berikut:

1.  Bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden   merupakan satu paket pasangan dan tidak dapat diusulkan secara terpisah.
2.    Bahwa paket pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
3.    Bahwa partai politik atau gabungan partai politik dimaksud adalah partai politik atau gabungan partai politik yang telah sah ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu.
4.    Bahwa paket pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden seharusnya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilu yang dilakukan secara serempak.
5.    Bahwa dengan diusulkannya paket pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pemilu maka akan terbentuk koalisi partai-partai politik yang didasarkan atas kesamaan program, bukan atas dasar ‘politik dagang sapi’.
6.    Koalisi yang terbentuk sebelum pelaksanaan pemilu juga diharapkan akan menjadi koalisi permanen yang membentuk Fraksi di DPR. Selanjutnya diharapkan pula bahwa koalisi tersebut akan mewujud dalam bentuk ‘satu barisan’ menghadapi pemilu berikutnya. Melalui rekonstruksi politik tersebut pada gilirannya dapat diharapkan terciptanya ‘multi partai sederhana’ yang lebih sesuai dan mendukung sistem kabinet presidensiil.
Menyangkut pilkada, yaitu Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dapat ditegaskan beberapa hal sebagai berikut:

1.    Dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 ditentukan bahwa: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
2.    Rumusan tersebut disepakati dengan memperhatikan dan didasarkan pada kenyataan sosiologis-politis yang mencerminkan keanekaragaman daerah dan masyarakatnya. Keanekaragaman tersebut antara lain meliputi tingkat kedewasaan dalam berpolitik, kemampuan dan kondisi daerah, ataupun hak-hak istimewa yang dimiliki beberapa daerah.
3.    Dengan demikian pengertian ‘dipilih secara demokratis’ tidak serta merta dan melulu merujuk pada pemilu langsung oleh rakyat melalui pemilu. Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dapat dilakukan oleh DPRD sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan atau kondisi tiap daerah. Pemilihan oleh DPRD adalah juga demokratis karena anggota DPRD merupakan wakil-wakil rakyat yang dipilih langsung melalui pemilu.
4.    Oleh karena itu pulalah dalam Pasal 22E yang menyangkut hal ihwal pemilu, pilkada termasuk dalam Pasal 22E ayat (2).

Selanjutnya, sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 22E ayat (5) yaitu bahwa “pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”, dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, bahwa penyelenggaraan pemilu mencakup kewenangan yang luas yang meliputi perncanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang bersifat internal-vertikal dan melekat. Dengan adanya pengawasan internal tersebut tidak ditutup kemungkinan untuk menyelenggarakan pengawasan yang bersifat eksternal-horisontal.

Kedua, bahwa terminologi ‘suatu komisi pemilihan umum’ yang ditulis dengan huruf kecil menunjuk pada suatu fungsii dan bukan suatu nama lembaga (bukan nomenklatuur). Karena itu dapat pula disebut sebagai Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum (KPPU) atau Lembaga Pemilihan Umum (LPU) atau nama lainya.
Ketiga, bersifat nasional dimaksudkan untuk menegaskan lingkup wilayah tugas dan kewenangannya yang meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keempat, bersifat tetap dimaksudkan untuk menegaskan bahwa lembaga penyelenggara pemilu merupakan lembaga yang bersifat permanen dan bukan lembaga yang bersifat ‘adhok’. Dengan demikian dimungkinkan membangun jenjang karier melalui lembaga dimaksud, kecuali para komisioner yang dipilih dan ditetapkan untuk suatu kurun waktu tertentu.

Kelima, bersifat mandiri dimaksudkan untuk melindungi penyelenggara pemilu dari intervensi berbagai kekuatan politik dan/atau dari pengaruh pemerintah. Namun, perlu ditegaskkan bahwa bersifat mandiri juga bermakna terbatas dalam hal pelaksanaan tugas dan kewenangannya.  Karena itu kemandirian tersebut mencakup kemandirian kelembagaan, dalam arti bahwa lembaga penyelenggara pemilu bukan merupakan bagian dari suatu lembaga negara lain, dan kemandirian dalam proses penentuan kebijakan/pengambilan keputusan dalam arti bebas dari intervensi dari pihak manapun.

Kata ‘mandiri’ dalam UUD 1945 terdapat dalam ketentuan berikut ini:
1.    Pasal 22E ayat (5) yang menyangkut suatu komisi pemilihan umum.
2.    Pasal 23E ayat (1) menyangkut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
3.    Pasal 24B menyangkut Komisi Yudisial.

Dengan sifat mandiri tersebut telah dibentuk UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam kedua undang-undang tersebut tidak terdapat pembatasan bagi keterlibatan warga Negara, apakah partisan atau non partisan.

Selain itu, dalam UUD 1945 juga terdapat kata ‘independen’ dalam Pasal 23D yang menyangkut Bank Sentral dan selanjutnya dituangkan dalam undang-undang tentang Bank Indonesia. Dalam undang-undang inipun tidak terdapat pembatasan tentang partisan atau non partisan untuk menjadi pejabat di lingklungan Bank Indonesia.

Kata ‘merdeka’ juga digunakan dalam UUD 1945 sebagai padanan kata ‘mandiri’ yaitu dalam Pasal 24 ayat (1) yang menyangkut kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang jo UU No. 10 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam UU tersebut juga tidak terdapat pembatasan atas dasar keterlibatan politik tertentu untuk menjadi pejabatnya.

Ketua Forum Konstitusi berpandangan bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga nagara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Dalam praktek penyelengaraan negara, perbedaan persyaratan dalam mengisi sesuatu jabatan didasarkan pada kebutuhan dan tuntutan objektif dari masing-masing jabatan tersebut. Misalnya persyaratan keahlian, persyaratan fisik dan lain sebagainya yang bersifat spesifik atau khas.
Sehubungan dengan itu maka sifat nasional, tetap dan mandiri tidak menghalangi kewajiban penyelenggara pemilu untuk bertanggung jawab atas segala kebijakan dalam pelaksanaan tugasnya. Bentuk pertanggung-jawaban penyelenggara pemilu tersebut pada dasarnya meliputi 2 (dua) aspek, yaitu pertanggungjawaban keuangan dan pertanggungjawaban politis. Pertanggung-jawaban keuangan dilakukan melalui BPK dan pertanggungjawaban politis dilakukan melalui DPR.

Pada sisi lain, yaitu yang mencakup aspek hak politik masyarakat, khususnya dari aspek peserta pemilu, tuntutan keadilan dan pertanggungjawaban dilakukan melalui  lembaga peradilan, baik peradilan umum, maupun peradilan tata usaha negara. Dengan kata lain, apabila penyelenggara pemilu melakukan tindakan yang merugikan seseorang atau salah satu peserta pemilu maka apabila tindakannya tersebut merupakan tindakan pidana, dapat diadukan ke pengadilan umum melalui lembaga kepolisian atau apabila merupakan tindakan administratif dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan dalam hal terjadi perselisihan tentang hasil pemilu, penyelesaiannya dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya adalah apakah masih diperlukan  suatu badan pengawas pemilu yang bersifat eksternal-horisontal, yang menuntut pembiayaan yang tidak sedikit? (Kamil).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here