Respon Negatif Anggota Terhadap Setjen DPR: Ancaman Keterbukaan Informasi Publik di DPR

0
66

(30/07)—Ternyata sejumlah anggota DPR meradang akibat pemberitaan yang akhir-akhir ini begitu masif tentang fakta rendahnya kedisiplinan dalam menghadiri rapat-rapat di DPR, khususnya rapat paripurna. Rendahnya kedisiplinan ini oleh media cetak maupun elektronik diistilahkan mulai dari “membolos”, “malas”, “absen”, “mangkir”, atau “tidak hadir”.

Terhadap pemberitaan tersebut (yang dilengkapi juga dengan rangkaian publikasi data statistik kehadiran anggota DPR), sebagian anggota DPR (terutama nama-nama yang masuk dalam kategori “membolos”) menunjukan beragam reaksi. Ada yang mengakui dan menerima apa yang diungkap media, namun ada juga yang tidak puas, tidak setuju dan tidak terima, merasakan upaya pembunuhan karakter, hingga membantah.

Tindakan membantah kemudian diikuti permintaan dari anggota DPR tersebut kepada Biro Persidangan Sekretariat Jenderal (selanjutnya disingkat Rosid Setjen) DPR agar:

1. Mengklarifikasi kepada yang bersangkutan (anggota DPR yang tidak hadir dalam rapat paripurna);

2. Meralat dan menyatakan bahwa daftar nama anggota DPR (yang kehadirannya minim dan kemudian dikelompokkan “membolos” oleh media) bukanlah informasi resmi yang dirilis Setjen DPR;

3. Bersikap hati-hati dalam memberikan keterangan tentang ketidakhadiran atau absensi anggota DPR; hingga

4. Dikenakan tindakan administratif

Selanjutnya, publikasi nama (bukan saja terkait dengan absensi) anggota DPR hanya dapat dilakukan melalui pimpinan DPR atau Badan Kehormatan (dengan tetap seizin pimpinan DPR).

Reaksi yang ditunjukan oleh anggota DPR berupa bantahan hingga 4 (empat) bentuk tindakan di atas yang ditujukan kepada Rosid Setjen DPR berpotensi mengancam keterbukaan informasi publik di DPR dan menempatkan DPR sebagai pihak yang melanggar Peraturan DPR No 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di DPR RI (selanjutnya disingkat Peraturan KIP di DPR).

Apa yang dilakukan oleh Rosid berupa pemberian data absensi anggota DPR pada rapat-rapat paripurna merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan oleh Pasal 6 ayat (1) Peraturan KIP di DPR yang menyatakan (salah satunya) Setjen DPR wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi, selain informasi yang dikecualikan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ditetapkan di DPR.

Ada pertanyaan:

1. Apakah data tentang kehadiran anggota DPR pada rapat-rapat paripurna termasuk informasi publik yang dikecualikan?

Jawaban: Tidak, karena Pasal 2 ayat (3) Peraturan KIP di DPR membagi empat jenis informasi publik yang dikecualikan, yaitu:

informasi yang dapat membahayakan negara;

informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi (seperti riwayat dan kondisi anggota keluarga);

informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan (misalnya proses penyelidikan dalam panitia angket dan verifikasi dalam badan kehormatan); dan/atau

informasi yang diminta belum dikuasai atau didomentasikan (contohnya risalah rapat yang belum selesai)

Kemudian, Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa informasi publik di DPR yang dikecualikan untuk disediakan dan diumumkan meliputi:

  1. informasi publik DPR dari hasil rapat-rapat di DPR yang bersifat tertutup yang dinyatakan rahasia;
  2. surat DPR yang bersifat rahasia;
  3. surat atau dokumen DPR yang substansinya menurut peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan;
  4. surat atau dokumen yang diterima oleh DPR yang substansinya dinyatakan rahasia oleh pemberi surat atau dokumen;
  5. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan undang-undang;
  6. informasi yang berkaitan dengan rahasia pribadi; dan
  7. informasi yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi atau berupa wasiat seseorang

Lebih lanjut, jenis informasi publik yang dikecualikan dimuat dalam:

Lampiran I Peraturan KIP di DPR huruf C Informasi Publik yang Tidak Dapat Diberikan

Lampiran IV Peraturan KIP di DPR huruf A DPR.

2. Dikaitkan dengan Peraturan KIP di DPR, data absensi anggota DPR termasuk dalam jenis informasi publik apa?

Jawaban: data absensi masuk dalam jenis informasi publik:

yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf b Peraturan KIP di DPR, yaitu jenis informasi tentang administrasi keanggotaan DPR

Lampiran I Peraturan KIP di DPR huruf B angka 1 yaitu informasi yang berkaitan dengan kegiatan dan kinerja Setjen DPR, dalam hal ini informasi kegiatan Setjen DPR dalam memberikan dukungan teknis, administrasi, dan keahlian untuk melaksanakan fungsi DPR.

Jelas sekali bahwa data absensi bukan merupakan jenis informasi publik yang dikecualikan, tidak berstatus data tertutup, atau tidak bisa diakses oleh publik.

3. Apakah Rosid Setjen DPR berhak menjalankan kewajiban memberikan informasi publik

Jawaban: Iya, Setjen DPR dalam hal ini Rosid berhak menjalankan kewajiban memberikan informasi publik. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) Peraturan KIP di DPR menyatakan bahwa dalam memenuhi kewajiban memberikan informasi publik, DPR mendelegasikan kepada Setjen DPR untuk melakukan penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan pelayanan informasi publik kepada pemohon informasi.

Setjen DPR dalam hal ini adalah Rosid Bagian Persidangan Paripurna. Bahkan, jika kita amati struktur Setjen DPR, semakin relevan apabila pemberian informasi publik yaitu data absensi anggota DPR dilakukan oleh Rosid mengingat keberadaannya masuk dalam lini Deputi Bidang Persidangan dan Kerjasama Antar Parlemen yang membawahi juga Biro Hubungan Masyarakat dan Pemberitaan. Dengan demikian, Deputi tersebut memegang peranan penting dan strategis dalam hal mengkoordinasikan penyediaaan, pendokumentasian, dan pemenuhan layanan informasi publik khususnya yang terkait dengan kegiatan persidangan, salah satunya data peserta rapat, dalam hal ini absensi.

4. Dalam konteks ini, siapa yang dimaksud pemohon informasi?

Jawaban: secara umum, pemohon informasi dapat bermakna luas, seperti warga negara dan/atau badan hukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi publik sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka (7) Peraturan KIP di DPR. Dalam konteks ini, pemohon informasi adalah pekerja media atau wartawan, baik cetak maupun elektronik.

Pemberitaan tentang fakta berupa rendahnya kedisiplinan anggota DPR berawal dari diperolehnya data tentang tingkat kehadiran anggota DPR pada rapat-rapat paripurna yang kemudian diolah menjadi sebuah informasi dan dipublikasikan sebagai data pendukung melengkapi pemberitaan.

Menurut konstruksi empat analisis di atas, ke depan, apabila kalangan wartawan ingin mengajukan permintaan data tentang absensi anggota DPR, maka tidak ada alasan yang kuat dan pertimbangan yang layak bagi Rosid untuk tidak memenuhi permintaan layanan informasi dimaksud serta berdasarkan kaidah dan standar layanan informasi publik di DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) jo Pasal 7 Peraturan KIP di DPR.

Lantas, terhadap bantahan sebagian anggota DPR yang meminta Rosid Setjen DPR untuk mengklarifikasi kepada yang bersangkutan (anggota DPR yang tidak hadir dalam rapat paripurna) hingga publikasi nama yang hanya dapat dilakukan melalui pimpinan DPR atau Badan Kehormatan (dengan tetap seizin pimpinan DPR), dimanakah letak relevansinya terkait pemenuhan layanan informasi publik tentang data kehadiran anggota DPR pada rapat paripurna?

Perlu diketahui bahwa kewajiban Setjen DPR dalam melaporkan kehadiran anggota DPR adalah berbeda dengan pemenuhan layanan informasi publik. Apa yang dimaksud dalam bantahan dan permintaan anggota DPR tersebut sebenarnya sudah tercakup dan menjadi kewajiban tersendiri bagi Setjen DPR sebagaimana yang dimandatkan dalam Pasal 244 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib yang menyatakan bahwa “Kehadiran anggota dilaporkan oleh sekretariat alat kelengkapan secara periodik kepada pimpinan fraksi”.

Dari sini kita dapat memahami bahwa Setjen DPR (termasuk pula dalam hal ini adalah sekretariat alat kelengkapan) sebenarnya telah mendokumentasikan dan melaporkan data tentang kehadiran anggota DPR secara periodik kepada fraksi. Sehingga:

1. Seharusnya yang mengajukan permohonan klarifikasi atas data kehadiran anggota DPR adalah fraksi, bukan anggota DPR, yaitu dengan cara mengkonfrontasikan laporan periodik dimaksud (yang diterima fraksi) dengan data yang terpublikasikan di media; dan

2. Kalaupun kemudian ada anggota DPR yang membantah bahwa ketidakhadiran yang bersangkutan dalam rapat paripurna DPR telah mendapatkan izin dari pimpinan fraksi (katakanlah dengan alasan menjalankan tugas-tugas komisi ataupun partai) maka anggota DPR tersebut turut ambil bagian untuk mengecek kembali laporan periodik yang disampaikan oleh Setjen DPR kepada pimpinan fraksi. Apabila ditemukan ketidakcocokan atau kekeliruan data, maka bisa saja anggota DPR tersebut (yang justru aktif) meminta klarifikasi kepada Setjen DPR.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa upaya membantah dan permintaan klarifikasi oleh anggota DPR berada di wilayan dan memiliki mekanisme tersendiri, terpisah dan tidak ada kaitannya dengan kewajiban Rosid Setjen DPR menjalankan pemenuhan informasi publik khususnya terkait dengan data absensi anggota DPR.

Tindakan membantah, meminta klarifikasi hingga pengenaan tindakan administratif merupakan bentuk kekhawatiran berlebihan dan tidak mustahil menjadi ancaman terhadap keterbukaan informasi publik di lingkungan DPR. Pemohon informasi, entahkah wartawan atau masyarakat umum, akan lebih sulit lagi untuk mendapatkan data dan informasi dari DPR karena staf Setjen DPR yang mengelola dokumen akan sangat berhati-hati dan berada di bawah bayang-bayang ketakutan (apalagi setelah muncul ancaman sanksi administratif seperti yang diusulkan oleh sebagian anggota DPR). Bagi staf Setjen DPR, hal ini akan jadi preseden buruk buat mereka terutama dalam memberikan data dan informasi yang sebenarnya menjadi domain dan hak publik dan menjadi kewajiban DPR untuk menyampaikannya. <!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:”Cambria Math”; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:”Century Gothic”; panose-1:2 11 5 2 2 2 2 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:””; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”,”serif”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt;} @page WordSection1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} –>

(Ronald Rofiandr)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here