Problematika Desentralisasi

3
74

Ahok.Org – Desentralisasi berdampak signifikan terhadap peningkatan peran pemerintah daerah, elit politik lokal, dan LSM. Bersamaan dengan itu pula muncul banyak persoalan. Tanpa terasa, pada Mei tahun ini proses reformasi di Indonesia menginjak usia satu dekade.

Dalam kurun waktu tersebut, telah dilakukan berbagai agenda pembaruan dalam sistem politik Indonesia. Di antaranya adalah kemungkinan terjadinya desentralisasi politik dan administrasi dari pusat ke daerah. Jika pada masa lalu praktik penyelenggaraan negara dimonopoli dan dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah pusat, pasca tumbangnya rezim otoriter Orde Baru (Orba) otoritas politik lokal mulai memperlihatkan geliatnya.

Bagi daerah, tumbangnya rezim Orba berarti terbukanya peluang untuk maju. Sebab sepanjang pemerintahannya, Soeharto senantiasa memandang segala yang berbau lokal sebagai musuh aspirasi nasional. Implikasinya, aspirasi lokal tak pernah mekar karena langsung diberangus penguasa politik di Jakarta. Penguasa Orba khawatir, desentralisasi justru mengobarkan sentimen lokal yang berujung disintegrasi. Jika demikian, maka sesungguhnya Indonesia pasca Soeharto lebih menjanjikan bagi daerah untuk bisa mewujudkan pelbagai ekspektasi. Namun, sungguhkah desentralisasi otomatis melahirkan demokrasi dan pemerintahan lokal yang bersih (clean governance)?

Ada dua mainstream pemikiran yang berupaya menjawabnya. Pertama, pemikiran yang menyatakan bahwa desentralisasi bakal mengarah pada tumbuhnya demokrasi lokal di mana kini Indonesia berada dalam fase transisi dari pemerintahan otoriter menuju sistem demokratis sekarang ini. Ini ditandai oleh makin menonjolnya peran politik masyarakat sipil. Kedua, pandangan yang menyatakan tidak ada garansi bahwa desentralisasi niscaya melahirkan demokrasi lokal. Pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi tidak sinonim dengan pergeseran dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis.

Problematika desentralisasi pasca Soeharto adalah tema utama yang disorot para penulis buku Politik Lokal di Indonesia. Berdasarkan hasil riset lapangan para penulis, terungkap bahwa desentralisasi menimbulkan implikasi beragam, bisa melegakan, bisa pula mengkhawatirkan. Semuanya berpulang pada kematangan demokrasi dan kedewasaan politik tiap daerah. Kekhasan buku yang diedit Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken ini terletak pada kemampuannya menyadarkan pembaca bahwa untuk memahami kompleksitas politik Indonesia, tidak memadai jika melulu terfokus pada dinamika politik nasional.

Kajian politik Indonesia harus pula dilihat dari konteks lokal. Sebab, banyak persoalan politik nasional yang berawal dari daerah.
Fokus bahasan buku ini mencakup antara lain pertama, peran dan kepentingan pejabat birokrasi maupun elit politik daerah terkait dengan isu pemekaran wilayah. Investigasi beberapa penulis mengungkap fakta bahwa pemekaran ternyata lebih sarat dengan interese politik-ekonomi elit lokal, ketimbang demi pemberdayaan daerah. Kedua, korelasi antara desentralisasi dengan maraknya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang melibatkan pejabat negara dan kalangan pengusaha. Dalam konteks ini, diperkenalkan konsep “negara bayangan” (shadow state) untuk menggambarkan kolusi antara penguasa dan pengusaha dalam meraup profit. Ketiga, kentalnya politik identitas atas dasar etnisitas dan agama yang kerap dimanfaatkan elit lokal guna merebut kekuasaan politik dan akses atas sumber ekonomi.

Wacana Pemekaran?
Wacana pemekaran menarik bagi sejumlah daerah. Melalui buku ini, setidaknya hal itu terlihat dari kasus pemekaran Kabupaten Sumba Tengah dan Kepulauan Mentawai. Tingginya minat pada pemekaran karena wacana tersebut selalu disertai harapan akan kesejahteraan dan perbaikan kualitas kehidupan ekonomi daerah. Harapan ini cukup beralasan mengingat pola pembangunan yang dijalankan selama ini belum menghasilkan pemerataan kesejahteraan, Pertumbuhan ekonomi hanya berlangsung di beberapa pusat pertumbuhan. Demikian pula pelayanan publik belum mampu menjangkau seluruh wilayah dengan kualitas merata. Bagi warga Sumba Tengah dan kepulauan Mentawai, pemekaran diharapkan menjadi solusi guna mengatasi aneka persoalan yang dihadapi kedua wilayah tersebut.

Guna menyukseskan pemekaran, para penggagasnya kerap mengemukakan sejumlah alasan. Di antaranya, pemekaran akan semakin mendekatkan fungsi pelayanan pemerintah terhadap publik, membawa kemakmuran ekonomi, merangsang akuntabilitas pemerintah lokal serta merupakan kehendak rakyat untuk memiliki kabupaten sendiri. Sebagaimana diketahui, saat menjadi bagian dari Kabupaten Padang-Pariaman, secara politik orang Mentawai terpinggirkan. Kekuasaan politis selalu dikendalikan orang Minangkabau, etnis dominan di Sumatra Barat. Baik penelitian Myrna Eindhoven di Kepulauan Mentawai maupun Jacqueline di Sumba Tengah, memperlihatkan bahwa tidak mudah merealisasikan idealisme pemekaran dalam kenyataan.

Shadow Government
Salah satu bentuk distorsi desentralisasi adalah kolusi yang melibatkan jajaran birokrasi daerah, politisi lokal dan pemilik modal dalam meraup keuntungan finansial dari aneka program pembangunan. Praktek kolutif ini pada gilirannya menciptakan apa yang oleh William Reno dan Barbara Harris-White disebut sebagai “negara bayangan” (shadow government). Dalam “negara bayangan”, penyelenggara negara mengundang investor untuk bergabung dalam jaringan yang dibangun, dan pengusaha diberikan privelese-perlindungan dengan menggunakan otoritas formal. “Aliansi najis” penguasa dan pengusaha ini bertujuan memperkaya diri melalui pemanfaatan otoritas formal.

Studi Erwiza Erman perihal bisnis timah di Bangka mengindikasikan adanya praktik shadow government yang melibatkan dua “Raja Timah” yang berkolusi dengan kepala daerah dan kepala kepolisian setempat. Dari riset investigatif ini, dapat diketahui bagaimana dan sejauh mana peraturan daerah bupati dipengaruhi kepentingan pebisnis dan bagaimana transaksi dan negosiasi tak resmi dibuat kedua pihak. Erman menyatakan, antara Bupati, pejabat daerah, pebisnis, polisi, militer dan preman terjalin kerja sama dalam shadow government.

Studi Syarif Hidayat di Banten juga memperlihatkan terjadinya praktik yang nyaris serupa dengan kasus Bangka. Bedanya, aktor utama dalam kasus Banten adalah seorang pengusaha-jawara.[Dipublikasikan di Harian Sindo 9/3/08]


3 COMMENTS

  1. PERDA KOTA BOGOR NO.4 2012
    sepihak dan menyulit masyarakat yang cendrung mematikan kawasan jln.Suryakencana dan Siliwangi Bogor. kami sendiri tidak pernah tau apa isinya dan meminta copynya pun tidak di berikan.

    betapa tidak, kenaikan parkir 300% secara tiba2 tanpa sosialisasi yg jelas baik pada proses pembuatan PERDA maupun pelaksanakannya. yg tadinya motor Rp1000 jadi Rp3000 mobil yg tadinya Rp2000 jadi Rp6000 dab mobil box mencapai Rp.24000.. dengan alasan kemacetan yg tidak ada hubungannya dengan perparkir melainkan tidak adanya petugas DLLAJ pada titik2 dimana mereka di perlukan..pelangan engan datang dan suplayer engan mengantar barang. jalan ini notabennya kawasan perdagangan. bukti tiket dan poster pengumumannya pun ada tapi anehnya tidak ada tanda tangannya. hanya tertulis dinas LLAJ KOTA BOGOR dan ttd begitu saja.

    Kami sudah melaporkan ke DPRD dan belum ada tangapan, sementara kami makin hari makin kesulitan karena sepi pengunjung omset kami tidak dapat menutupi tagihan suplayer. mohon di bantu secepatnya agar usaha kami tetap hidup. setau saya undang-undang hak asasi manusia pasal 9 ayat 1 “setiap orang berhak untuk hidup, bertahan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya” ini sudah dilanggar. kami tidak tau lagi mau mengadu kemana, karena sebentar lagi kami pun harus memberikan hak THR pegawai kami. pelangan2 kami yg makin sedikit dan kerap mengomel soal parkir saat berbelanja..

    perda no.4 2012 apa isi sebenarnya juga ga dikasih tau..
    sepertinya di tutup2i.. aneh.. ada apa di balik ini?

    bahkan sekarang ini karena warga memberitahukan untuk bayar seperti biasa 2000.. eh malah setoran parkir dinaikin sama DLLAJR.. memaksa konflik antara warga dan tukang parkir.. sebenarnya angka setoran parkir yg resmi masuk ke pemda brp sih? brp yg bocor? kasian tukang parkir jadi sapi perah DLLAJR yg kompak korup..

  2. kabar terbaru lg.. setelah ngengajukan teguran terbuka ke DPRD kota bogor dan memenuhi pangilan audiensi warga dgn DPRD komisi B dan C, mereka menjanjikan memfasilitas audiensi antara pemkot DLLAJR dan warga pada audiensi ke 2.. eh kemaren tgl 30 DLLAJR membuat undangan sosialisasi perda no.4 2012 dan baru di bagikan isi perda tersebut,anehnya cuma ada tandatangan seksa dan walikota cuma tertulis ttd saja.sosialisasi ini yg seharusnya dilakukan minimal 1 bulan sebelun dilaksanakannya perda, jatuh nya jadi sebulan setelak dilaksanakan nya tarif parkir 300% .. ada aja akal2an nya.. tolooooong !!

    kita warga suryakencana siliwangi sudah mengirimkan penolakan ke pihak DLLAJR dgn tembusan ke DPRD dan semua yg terkait.. tetap dilaksanakan juga dgn warga yg datang dari warga jln roda, warga gang liti dan warga belong yg tidak terkena dampak secara langsung.. munkin ini menjadi bukti bahwa mereka sudah melakukan sosialisasi.. yg benar saja?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here