Selisik Rumah Demokrasi Bangka Belitung…(Konsolidasi Demokrasi Bangka Belitung 1)

1
60

Ahok.Org – Dalam keriuhan demokrasi Indonesia, geliat Bangka Belitung seolah redup. Namun, sebenarnya, justru di provinsi yang baru menjejak usia ke-11 tahun ini, idealisasi nilai-nilai demokrasi berikut pertautannya dengan kesejahteraan masyarakat tengah dipertaruhkan.

Pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2009 yang dipublikasikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) tahun ini menempatkan Provinsi Bangka Belitung di posisi ke-20 dari 33 provinsi di seluruh Indonesia.

Berdasarkan posisi itu, prestasi demokrasi provinsi berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa ini jika dibandingkan provinsi lain tampak kurang mengesankan. Berdasarkan tiga aspek yang diukur, yaitu kebebasan sipil, pemenuhan hak politik, dan kualitas kelembagaan demokrasinya, skor provinsi ini hanya 67,01. Skor itu di bawah rata-rata skor nasional sebesar 67,30. Tertinggal jauh jika dibandingkan skor papan atas IDI, yaitu Kalimantan Tengah (77,63), Riau (75,85), dan DKI Jakarta (73,61).

Aspek kesejahteraan masyarakat, sebagai salah satu indikator yang kerap dijadikan tolok ukur penopang demokrasi, juga tak terlalu menawan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bangka Belitung tahun 2009 sebesar 72,55. Nilai itu sedikit di atas rata-rata IPM nasional (71,76). Namun, jika dikaji dari sejumlah komponen pembentuk IPM, hanya daya beli dan angka melek huruf yang berada di atas rata-rata angka nasional. Indikator sosial lainnya, seperti rata-rata lama pendidikan masyarakat—yang selama ini selalu dikaitkan dengan kualitas demokrasi—dan angka harapan hidup penduduknya masih di bawah rata-rata nasional. Dengan mengaitkan antara besaran IDI dan IPM Bangka Belitung, tampak benar posisi provinsi ini secara nasional kurang menonjol.

Modal ikatan sosial

Peringkat demokrasi dan kesejahteraan Bangka Belitung, sebagai dua entitas yang selalu dipertautkan, bisa saja kurang menonjol. Persoalannya, apakah dinamika kehidupan politik di provinsi ini tergolong kurang demokratis? Lebih mendasar lagi, apakah bibit demokrasi yang disemai tidak mampu bertahan hidup dalam kultur sosial politik masyarakatnya? Apakah kondisi kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung harus disikapi secara pesimistis dalam menopang demokrasi di kawasan ini?

Pergulatan demokrasi tengah berlangsung di Bangka Belitung. Beragam premis dasar sebagai modal terbentuknya kehidupan demokrasi yang berkualitas dimiliki provinsi ini. Aspek keragaman sosial masyarakat, misalnya, terbentuk sejak abad ke-17. Terbentuknya masyarakat kedua pulau ini umumnya dari hasil migrasi pekerja tambang, perkebunan, atau persinggahan perdagangan. Masyarakat beretnik Melayu, Tionghoa, Jawa, atau suku lain melebur dan beranak-pinak di wilayah ini.

”Arus panjang sejarah pertambangan timah dan perdagangan itu secara khusus membentuk masyarakat di sini dalam kultur yang plural, terbuka, sekaligus egaliter,” kata Bustami Rahman, sosiolog yang juga Rektor Universitas Bangka Belitung.

Di tengah keragaman, segregasi sosial tidak tampak. Ikatan sosial hingga kini relatif terjaga, yang sekaligus adalah modal potensial terbentuknya kehidupan masyarakat yang demokratis. Ini pula yang berlangsung dalam kehidupan politik masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengurai, di Bangka Belitung komposisi penduduk berdasarkan etnisitasnya terbesar adalah Melayu Bangka dan Melayu Belitung sekitar 69 persen. Tionghoa dengan populasi 11 persen. Selain itu, ada Jawa (6 persen), Bugis-Makassar (3 persen), Madura, dan sejumlah suku lain.

Sekalipun dari sisi kuantitas proporsi setiap etnik berbeda, praktik kesetaraan tidak tersingkirkan. Tampilnya sosok politisi pilihan masyarakat beretnik Tionghoa di DPR, seperti Rudianto Tjen dan Basuki Tjahaja Purnama, serta di Dewan Perwakilan Daerah seperti Tellie Gozelie dan Bahar Buasan, atau dalam kursi kepemimpinan lokal, seperti Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama, mengukuhkan terbukanya kesetaraan itu, sekaligus memorakporandakan konsep proporsionalitas politik yang umumnya dipraktikkan.

Terpilihnya sosok politisi beretnik Tionghoa tergolong alami dari hasil kalkulasi rasional pemilihnya dalam sejumlah ajang kontestasi politik. Pemilih mereka tidak semata-mata berasal dari kesamaan etnik atau agama. Anhar, warga Melayu di Manggar, Belitung Timur, yang pernah aktif di Partai Bulan Bintang, mengatakan, ”Tidak masalah China sepanjang punya perhatian terus-menerus kepada kami.” Pendapat ini ia buktikan saat pemilu gubernur Bangka Belitung tahun 2007. Sekalipun berbeda suku, agama, dan partai politik, Anhar bersama warga sekitar wilayahnya lebih memilih Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ahok akhirnya kalah tipis dari Eko Maulana Ali, yang menjabat gubernur saat ini. Namun, sebelumnya, ia memenangi Pilkada Kabupaten Belitung Timur tahun 2005, wilayah di mana identitas sosial dirinya tergolong minoritas.

Penopang ekonomi

Soliditas sosial masyarakat Bangka Belitung adalah modal sosial terbesar bagi berlangsungnya demokrasi di kawasan ini. Modal ini terbentuk dan berproses sedemikian lama, yang sebenarnya terbentuk dari adanya ”kesamaan nasib” dalam kerja ekonomi atau distribusi pemanfaatan sumber daya alam. Kekayaan alam timah menjadi perekat masyarakat Bangka Belitung. Ekonomi masyarakat adalah ekonomi timah.

Sejauh ini, sesuai perhitungan BPS, proporsi terbesar—lebih dari sepertiga bagian—gerak ekonomi bertumpu secara langsung pada pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang. Selebihnya seperti sektor jasa, keuangan, dan perdagangan yang sebenarnya langsung atau tidak langsung bersentuhan pula dengan pertambangan. Diperkirakan hampir 70 persen ekonomi provinsi ini digerakkan oleh keberadaan timah.

Pemanfaatan timah berkontribusi langsung bagi perekonomian masyarakat. Zulfari, Ahong, dan Parno, petambang yang berbeda suku, tetapi bekerja sama dalam satu kelompok kerja, mengungkapkan tidak terlalu sulit mengais rezeki timah. Minimal Rp 100.000 mereka dapatkan dalam sehari. ”Jika beruntung dan harga timah tinggi, seminggu bisa Rp 5 juta,” ungkap Zulfari. Kemudahan ini mendongkrak daya beli masyarakat, yang secara agregat tergolong tinggi. Data BPS mengungkapkan, rata-rata daya beli masyarakat Rp 639.000 per kapita per tahun, di atas daya beli rata-rata per kapita Indonesia.

Terdapat masa sulit ketika penambangan tak lagi ekonomis. Namun, geliat ekonomi timah kembali terasakan sesaat bergulirnya otonomi daerah. Munculnya kebijakan menteri perindustrian dan perdagangan yang membuka peluang industri pengolahan timah di daerah dan makin dipermulus dengan munculnya beberapa peraturan daerah (perda), salah satunya Perda Nomor 6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, semakin memperluas kesempatan eksploitasi timah.

”Saat itu saya dihadapkan pada kondisi yang terdesak, harus mencari pekerjaan bagi puluhan ribu penganggur, bekas petambang,” kata Eko Maulana. Kebijakan yang ia keluarkan saat masih menjadi Bupati Bangka ini membuka babak baru pertambangan rakyat, lebih sering disebut tambang inkonvensional, yang kini bahkan merambah tidak hanya daratan, tetapi juga penambangan timah di laut seputar Pulau Bangka.

Munculnya tambang rakyat dan pengolahannya di satu sisi berdampak bagi kesejahteraan warga. Warga dengan beragam latar belakang identitas dipersatukan timah dalam berbagai bentuk pekerjaan guna pencapaian kebutuhan hidup yang layak. Di sisi lain, eksploitasi timah tidak luput dari sorotan.

Selain persoalan potensi kerusakan lingkungan, kebijakan ini dalam perjalanannya melahirkan kelompok elite ekonomi pengusaha tambang. Peningkatan kapital secara signifikan membuat posisi tawar penguasa tambang kian kuat. Pada gilirannya, perpolitikan Bangka Belitung pun tidak luput dari pengaruh kekuatan aktor yang bersentuhan dengan pertambangan. ”Ekonomi dan politik Bangka Belitung tak lepas dari timah, belum bisa,” ungkap Hidayat Arsani, pengusaha pertambangan yang juga banyak berkiprah dalam kegiatan politik dan sosial di Bangka Belitung.

Bertumbuhnya aktor ekonomi ataupun politik semacam ini mengukuhkan peran aktor dalam wajah demokrasi Bangka Belitung. Apalagi situasi semacam ini tak diimbangi kiprah parpol. Sebagian besar fungsi parpol tenggelam, terkooptasi kekuatan aktor yang dalam banyak hal hanya menggunakan partai sebagai kendaraan politik semata. Benteng penguasaan parpol di sejumlah wilayah pun, yang seolah sangat ideologis dan mampu terpertahankan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2009, cenderung menjadi semu.

Pada situasi demikian, ancaman terhadap demokratisasi Bangka Belitung di ambang mata. Menjadi makin mengkhawatirkan jika Bangka Belitung pun tengah dihadapkan pada kenyataan kian terbatasnya potensi ekonomi timah yang selama ini menjadi penopang kesejahteraan masyarakat. Jika selama ini mereka dipersatukan dalam kenikmatan hasil timah, menipisnya timah berpotensi mengancam kerekatan sosial antarmasyarakat. Padahal, kerekatan sosial menjadi fondasi utama terbangunnya demokrasi. Kekhawatiran itu harus disingkirkan mereka yang siap berkontestasi dalam pemilihan gubernur Bangka Belitung dalam waktu dekat ini. (Litbang Kompas/Kompas.com)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here