Di Luar Panggung Timah (Konsolidasi Demokrasi Bangka Belitung 5)

0
54

Ahok.Org – Naskah (17) memaksakan senyum saat ditanya bagaimana kelanjutan Suku Sawang di Bangka Belitung. Sebagai putra Kepala Suku Sawang di Desa Juru Seberang Menan (60), dia termasuk orang yang gelisah dengan kelanjutan orang laut dari Bangka Belitung tersebut.

Naskah ditakdirkan sebagai orang laut sejak lahir. Pemuda bertubuh besar itu lahir di perahu yang tengah berlayar di Selat Gaspar, penghubung Pulau Bangka dengan Pulau Belitung. Sejak kecil, dia bermain, mencari makan, dan mencari penghasilan dari laut. ”Saya ke darat karena sedang jenuh di laut. Sedang musim angin barat, ombak tinggi. Biasanya, beberapa hari ke darat lalu ke laut lagi berminggu-minggu,” ujarnya pada pertengahan November 2011 di Belitung.

Ketangguhannya sebagai orang laut bisa dilihat antara lain dari kesanggupannya menyelam selama lebih dari 30 menit hanya dengan udara dari kompresor pompa ban. ”Ayah saya malah cukup modal kacamata kecil, bisa menyelam 15 menit lebih tanpa ambil napas. Begitulah cara orang laut mencari nafkah,” ujarnya.

Namun, semakin sedikit orang laut benar-benar menggantungkan hidup dari laut. Di Desa Juru Seberang tersisa 40 keluarga suku Sawang. ”Saya tidak ingat ada bantuan pemerintah untuk Suku Sawang. Orang-orang Sawang yang sudah bercampur dengan suku lain tak bekerja di laut lagi,” ujarnya.

Ketua RT 06 Desa Juru Seberang Ardiansyah (28) membenarkan hal itu. Sebagian besar orang Sawang di Belitung menjadi buruh angkut di pelabuhan. Sangat sedikit orang Sawang yang tetap menjadi nelayan atau orang-orang yang mencari penghasilan dari laut. ”Orang Sawang di sini hampir tak pernah mendapat bantuan pemerintah. Bantuan lebih banyak ke Kampung Laut yang sebagian besar bukan orang Sawang asli dan tidak lagi hidup dari laut,” tuturnya.

Memang, bantuan dari pemerintah disikapi dengan sangat hati-hati. Dua kali pemerintah mencoba mengubah orang Sawang menjadi orang darat. Pada dekade 1970-an, pemerintah memukimkan orang Sawang di Kampung Laut. Sekarang nyaris tidak ada orang Sawang di kampung itu hidup dari laut.

Pada 1985, pemerintah mencoba memukimkan orang Sawang di Juru Seberang. Sebanyak 20 rumah semipermanen dibangun dan sebagian masih dipakai hingga kini. Mereka diminta menyerap cara-cara hidup orang Melayu yang lebih berbasis daratan. ”Kalau mau membantu, sesuaikan dengan kebutuhan kami sebagai orang laut,” ujar Naskah.

Warga Belitung lainnya, Ramsi (67), mengatakan tidak terlalu hirau dengan hiruk-pikuk politik. Dia pernah aktif berpolitik di masa Orde Lama dengan menjadi anggota organisasi kepemudaan. Namun, prahara politik pada 1965 membuatnya susah. ”Saya diperiksa dan dicurigai bertahun-tahun berdasarkan daftar hadir pertemuan yang hanya sekali saya ikuti. Saya hadir sebagai tamu dan berstatus anggota organisasi lain,” ujarnya.

Sejak itu, ia memilih menjauh dari politik praktis dan menyibukkan diri mencari nafkah. Sebagai warga sipil biasa, harapannya hanyalah jaminan keamanan dan kestabilan situasi. ”Saya pedagang dan rakyat kecil, tahu susahnya hidup kalau situasi tidak stabil. Para politisi silakan saja bersaing berebut kursi. Namun, jangan sampai persaingan itu merusak ketenteraman warga. Saya hanya ingin berdagang dengan tenang,” ujarnya.

Mengandalkan laut

Warga Pulau Belitung adalah potret konsistensi kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam yang lambat laun digerus pertambangan timah di laut. Mereka secara umum menolak beroperasinya kapal isap timah. Bahkan, beberapa waktu lalu, masyarakat mendemo pejabat setempat karena mendengar ada pemberian izin bagi kapal isap timah di perairan Belitung.

Walhasil, hingga kini, perairan Belitung aman dari eksploitasi timah di lautan yang mengganggu ekosistem laut. Warga mengandalkan perikanan dan wisata sebagai sumber pendapatan. Ikon sebagai ”Negeri Laskar Pelangi” dimanfaatkan betul oleh warga Belitung yang mencoba menjual keindahan pantai dan keberagaman kehidupan masyarakat Melayu dan Tionghoa yang digambarkan oleh novelis Andrea Hirata di Desa Gantung, Belitung Timur.

Warga Pulau Bangka juga banyak yang tidak sekadar menggantungkan hidup dari bisnis timah, terutama kapal isap timah yang notabene dikuasai segelintir pengusaha besar dan bermitra dengan oknum pejabat daerah dan pusat.

Baru-baru ini, seribu lebih warga Bangka Belitung alumni Sekolah Budi Mulia berkumpul merayakan ulang tahun ke-77 yayasan sekolah Katolik tersebut. Banyak alumnus Budi Mulia dari suku Melayu dan Tionghoa yang merantau ke luar daerah menghadiri reuni tersebut. Sebutlah musisi Idang Rasjidi, Irjen Polisi (Purn) Chairul Rasjid, hingga sejumlah pengusaha terkenal di Jawa yang ternyata memiliki akar di Jawa.

”Banyak juga orang Bangka nonbisnis timah yang sukses. Waktu reuni kemarin selama dua hari, alumni mengumpulkan dana hingga lebih dari Rp 1 miliar untuk disumbangkan ke Yayasan Budi Mulia,” kata Hongky yang bekerja sebagai arsitek di Pangkal Pinang.

Kisah sukses warga Bangka perantauan memang patut dipuji. Bahkan, salah satu konglomerasi besar di Surabaya, seperti grup usaha Wings, juga dimiliki keluarga Katuari yang berasal dari Bangka.

Itu kisah sukses para perantau. Warga kecil yang tidak berkecimpung di sektor pertambangan timah, semisal Wayan Rana yang tinggal di lokasi transmigrasi di Desa Sumber Jaya Permai, Kecamatan Batu Tumpang, Kabupaten Bangka Selatan, optimistis mampu meraih sukses dengan budidaya sawit dan karet serta kebun buah-buahan di wilayahnya. ”Kami warga Bali dan warga asal Pulau Jawa yang pindah sejak 1996 mulai menikmati hasil budidaya tanaman di sini,” kata Rana yang juga menjabat sebagai sekretaris desa.

Di utara Pulau Bangka, tepatnya di Belinyu, banyak warga masih mengandalkan kehidupan nelayan atau berwiraswasta mengandalkan hasil laut, seperti industri kerupuk dan otak-otak yang menjadi ciri khas Bangka. Hendi Bong, pengusaha kerupuk di Belinyu, mengaku akan terus menjaga usaha yang diwariskan keluarga dan tidak terpikir untuk banting setir ke bisnis timah. Setiap hari, dia mampu memproduksi puluhan kilogram kerupuk dengan bahan baku beragam dari ikan tenggiri hingga jenis ikan lain.

Zulkarnain Karim, Wali Kota Pangkal Pinang, secara tegas mendukung kegiatan ekonomi nontimah. ”Kita jangan berbicara Bangka Belitung pascatimah. Kegiatan ekonomi nontimah harus berjalan simultan. Budidaya perikanan dan perkebunan harus dihidupkan. Terbukti banyak warga masih bisa mendapatkan penghasilan di luar penambangan timah,” katanya.[Kompas]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here