Jokowi-Ahok, Pasangan Fenomenal

5
228

Ahok.Org – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI akan digelar 11 Juli 2012. Enam pasangan bakal calon Gubernur/Wakil Gubernur kini tengah mempersiapkan diri memasuki kontestasi elektoral.

Beragam upaya dan manuver politik telah dan terus dilakukan masing-masing pasangan kandidat. Tujuannya jelas, memikat hati pemilih agar sukses meraup suara mayoritas saat Pilkada. Namun, mampukah Pilkada DKI Jakarta kali ini menghasilkan pemimpin atau kepala daerah yang sanggup membangun Jakarta menjadi kota yang sehat, bermartabat, sekaligus nyaman sebagai rumah bersama bagi semua anak bangsa?

Sepanjang hidup, penulis belum sekalipun ikut Pemilu/Pilkada, walau sebenarnya telah memiliki hak pilih sejak tahun 1999. Penulis bahkan telah bertekad tidak akan menggunakan hak pilih saat Pemilu/Pilkada. Pemicunya karena krisis kepercayaan penulis terhadap kiprah politisi dan Partai Politik (parpol) yang terus mengkhianati rakyat. Kata dan kelakuan politisi dan parpol nyaris selalu tak sejalan, ada jarak teramat jauh antara keduanya. Kini sangat langka menemukan politisi dan parpol yang total mengabdi pada rakyat, yang sungguh “mengucapkan komitmennya dalam tindakan nyata”. Ibarat mendapatkan air di padang gurun, begitu pula sulitnya menemukan politisi amanah di jagat politik. Indonesia dewasa ini.

Namun, tindakan menggeneralisir fakta-fakta lalu menyimpulkannya sebagai suatu kebenaran absolut, ternyata tak selalu valid. Selalu ada pengingkaran atas upaya gereralisasi. Faktanya, di antara banyak politisi buruk di Indonesia, ternyata masih ada segelintir politisi yang mengagumkan karena sungguh memberikan hatinya untuk melayani rakyat.

Karakter politisi demikian ternyata ada dalam sosok Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Bupati Belitung Timur (Beltim)Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kandidat Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta yang diusung PDIP dan Partai Gerindra. Jokowi-Ahok tipikal politisi “gila” karena karakter dan gaya politik keduanya sangat berbeda dengan politisi kebanyakan. Jokowi-Ahok menabrak kelaziman praktek politik yang acap dipertontonkan mayoritas politisi. Karena alasan itu pula, kini penulis serius mempertimbangkan untuk menggunakan hak pilih dalam Pilkada DKI Jakarta Juli mendatang. Lantas, apa saja “kegilaan-kegilaan” Jokowi-Ahok yang secara fundamental membedakannya dari politisi kebanyakan?

Periksa Rekam Jejak

Untuk memahami “kegilaan” Jokowi-Ahok, perlu lebih dulu mengenal rekam jejak (track record) keduanya. Menurut penulis, memilih pemimpin atau kepala daerah tidak cukup hanya menilai visi, misi dan konsep pembangunan yang ditawarkan kandidat. Visi dan konsepsi kandidat soal pembangunan adalah penting, tapi yang terpenting adalah rekam jejak.

Intinya, jangan melulu percaya pada janji-janji, lebih utama adalah memeriksa rekam jejak kandidat. Bisa saja kandidat memiliki konsepsi pembangunan visioner, namun miskin dalam implementasi. Itu pula yang mengakibatkan mengapa selama ini dijumpai banyak politisi yang memukau saat kampanye karena punya gagasan brilian, namun gagal saat memimpin. Menjadi pemimpin dituntut lebih dari sekedar cerdas secara tekstual. Pemimpin dituntut lebih untuk bijaksana, piawai, juga peka dalam menjalankan program kerja. Pemimpin mesti memahami akar masalah, sekaligus mampu menghadirkan solusi atasnya.

Dalam perspektif penulis, rekam jejak adalah paramater/tolak ukur terpenting untuk dijadikan acuan bagi pemilih untuk memilih kepala daerah DKI Jakarta. Dengan kata lain, pilihan kandidat terbaik adalah bukan semata kandidat yang memiliki konsep kampanye terbaik, melainkan kandidat yang telah teruji dan terbukti berhasil memimpin. Karena itu, pemilih dituntut sungguh mengenal sepak terjang kandidat, tidak terbatas pada masa kampanye saja, tetapi seluruh kiprah politiknya.

Kampanye bisa saja menjadi sekedar “pencitraan politik” yang menipu, tetapi rekam jejak adalah sesuatu yang otentik karena kandidat merintis atau membangun riwayat politiknya dari hari ke hari. Dengan mengetahui persis rekam jejak calon, pemilih akan memberikan “reward” kepada pemimpin yang berhasil, sebaliknya memberikan “punishment” kepada yang gagal saat memimpin. Memeriksa rekam jejak kandidat adalah mekanisme terbaik untuk memberikan “reward” atau “punishment” pada kandidat. Jangan melulu percaya pada advetorial politik, tapi percayalah pada pemimpin yang telah teruji. Don’t vote the politicians who have failed. We really need a role model from a leader with integrity and honesty who is willing to sacrifice for the development of this nation,

Jokowi, Sederhana dan Pro Rakyat

Jokowi dinilai “gila” antara lain karena sebagai Walikota, ia adalah kepala daerah yang sama sekali tidak pernah mengambil gajinya. Padahal, banyak kepala daerah, pejabat, politisi yang memanfaatkan jabatan untuk menumpuk harta, bahkan melakukan korupsi demi memperkaya diri. Tujuh tahun menjabat Walikota, Jokowi juga tak pernah mengganti mobil dinasnya dengan mobil baru. Mobil dinas yang digunakannya adalah mobil bekas yang dipakai Walikota sebelumnya.

Jokowi baru mengganti mobil dinasnya saat siswa SMK di Solo memproduksi mobil Esemka-Kiat. Padahal mobil ini belum lulus uji emisi. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk apresiasinya pada kreativitas pelajar SMK. Pada sisi lain, banyak pejabat menuntut mobil baru buatan asing berharga selangit sebagai kendaraan dinas.

Dukungan Jokowi terhadap mobil ciptaan anak bangsa ini kemudian melejitkan popularitasnya di hadapan publik. Jokowi juga “gila” karena berkat kesederhanaan, ketulusan dan kedekatannya dengan rakyat, ia bisa terpilih untuk kedua kalinya sebagai Walikota Solo dengan 91% suara. Tak pernah ada kepala daerah incumbent yang kembali terpilih dengan prosentase sangat tinggi seperti Jokowi.

Saat memimpin Solo, ia berhasil membangun Solo menjadi kota kultural sebagai ikon budaya Jawa yang dikenal hingga ke dunia internasional. Ia pula satu-satunya kepala daerah yang sukses menata dan mengelola pedagang kaki lima (PKL) secara manusiawi, tanpa menimbulkan konflik antara PKL dengan aparat negara.

Bandingkan dengan kasus DKI Jakarta di mana pengelolaan PKL tidak pernah beres, malah acap berujung konflik kekerasan. Pembelaan Jokowi pada “wong cilik” makin kentara saat ia tegas memihak pasar tradisional, di saat banyak kepala daerah takluk tak berdaya berhadapan dengan ritel modern raksasa dan membiarkannya menggilas pasar tradisional. Lebih dari itu, ia sukses membangun pasar tradisional yang bersih, nyaman, aman, serta jauh dari kesan pasar yang jorok dan tak terurus. Di tangan Jokowi, pasar tradisional disulap menjadi lebih dari sekedar tempat transaksi, tapi juga tempat rekreasi.

Tak hanya itu, Jokowi juga membuka akses yang luas bagi kreativitas pelajar dan anak muda. Dari Solo, kemudian lahir mobil Esemka, karya pelajar SMK di Solo. Bayangkan, jika mobil Esemka di kemudian hari menjadi mobil nasional, tentu mendatangkan profit ekonomi dan kebanggaan bagi warga Solo. Esemka adalah cara cerdas Jokowi untuk kian mengharumkan nama Solo. Karena prestasinya yang mengagumkan, dalam polling Majalah Tempo, Jokowi terpilih menjadi salah satu dari “10 Tokoh Tahun 2008″.

Pengakuan atas keberhasilannya makin diperkuat dengan masuknya nama Jokowi sebagai salah satu kandidat Walikota terbaik dunia versi “The City Mayors Foundation”, salah satu lembaga dengan reputasi dan kredibilitas internasional. Tentu bukan karena menyogok yayasan tersebut, maka ia dinominasikan sebagai kandidat Walikota terbaik dunia. Tetapi karena penilaian atas kinerjanya.

Ahok, “Obama-nya Indonesia”

Seperti halnya Jokowi, pasangannya dalam Pilkada DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang lazim disapa Ahok adalah juga tipikal politisi “gila”. Ahok dinilai “gila” karena ia adalah satu-satunya politisi berlatar belakang Tionghoa-Kristen di Indonesia yang berhasil menjadi kepala daerah dalam Pilkada langsung di wilayah dengan 93% warga Muslim Masyumi. Padahal etnis Tionghoa di Beltim hanya berkisar 7%. Itu sebabnya, sementara kalangan menyebut Ahok adalah “Obama-nya Indonesia”.

Ahok juga “gila” karena selama menjadi Bupati, kekayaan pribadinya justru menurun. Mungkin ia Bupati pertama yang setelah menjabat, malah harta kekayaannya berkurang. Itu terjadi karena Ahok tidak pernah mencuri uang rakyat dan memanfaatkan berbagai dana fiktif untuk kepentingan pribadi. Ia bukan “politisi komisi” yang memanfaatkan otoritasnya untuk mengambil untung dari APBD/APBN. Kendati tidak bertambah kaya, Ahok bahagia karena sebagai Bupati, ia memiliki kewenangan menggunakan APBD 200 milyar rupiah untuk mensejahterakan rakyat Beltim. “Kegilaan” Ahok lainnya adalah berani memangkas anggaran perjalanan dinas pejabat Beltim menjadi tinggal seperlimanya saja.

“Kegilaan” Ahok lainnya adalah ia bisa dipilih menjadi Bupati Beltim setelah hanya 7 bulan menjadi anggota DPRD II karena masyarakat melihatnya berbeda dari politisi lainnya. Ia rajin berkeliling, dan berdialog langsung dengan rakyat. Dan untuk menindaklanjuti dialognya, ia bagikan nomor telepon yang juga ia pakai sehari-hari.

Ahok menjalin komunikasi erat dengan warganya. Ia bukan tipe pejabat yang hanya berdiam di kantor dan mengandalkan laporan stafnya. Baginya, pemimpin tak boleh berjarak dengan rakyat. Dengan berinteraksi langsung dengan warga, pemimpin bisa memahami akar persoalan yang dihadapi rakyatnya, sekaligus bisa memberikan solusi atas problem rakyat. Lantas, apa rahasia Ahok hingga sukses memimpin bumi “Laskar Pelangi”?

Kuncinya pada integritas. Selama menjadi anggota DPRD, Ahok berhasil menunjukan integritasnya dengan menolak melakukan praktik KKN, menolak mengambil uang SPPD fiktif, dan ia makin dikenal rakyat karena merupakan satu-satunya pejabat yang berani secara langsung berkomunikasi dengan warga. Melukiskan sosok Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama (BTP) bisa digambarkan dalam tiga kata, “BERSIH”, “TRANSPARAN”, dan “PROFESIONAL” sebagaimana singkatan namanya, BTP.

Di mata para pengusaha, misalnya, Ahok adalah Bupati yang tidak mempan disogok. Ia sungguh mewujudkan birokrasi Beltim tanpa pungutan liar (pungli) dan konsisten menjalankan agenda pemberantasan korupsi. Karena sikapnya ini, ia dikenal sebagai politisi bersih. Ia juga dinilai bersih karena berani membuktikan dari mana sumber harta kekayaannya, dan melaporkan pajaknya secara berkala sesuai prosedur.

Citra bersih semakin diperkuat oleh sikapnya untuk menghindari politik uang dalam kampanye Pilkada Beltim. Sikap anti terhadap politik uang lagi-lagi diperlihatkan Ahok bersama pasangannya Jokowi saat PDIP dan. Partai Gerindra mengusung keduanya sebagai cagub/cawagub DKI Jakarta. Tak sepeser rupiah pun yang dikucurkan Jokowi-Ahok untuk membeli dukungan parpol, padahal jamak diyakini mayoritas politisi membayar parpol dalam nominal fantastis, bahkan mencapai milyaran rupiah agar mendapatkan dukungan politik parpol.

Sementara sikap transparan Ahok diperlihatkannya dengan membuka akses publik seluas mungkin untuk mengetahui, bahkan mengaudit penggunaan dana pembangunan. Ia selalu transparan terkait dengan gaji dan tunjangan yang diterima sebagai pejabat negara, baik ketika menjabat Bupati Beltim maupun anggota DPR RI. Saat menjadi anggota DPR RI pun, Ahok selalu memberikan laporan secara rutin perihal kinerja dan penggunaan uangnya melalui website pribadinya yang bisa diakses kapan pun dan oleh siapa pun. Ia juga lantang mendorong pembuktian terbalik harta kekayaan semua pejabat negara demi menegakkan asas transparansi dan akuntabilitas publik.

Ahok juga dinilai profesional sebagai Bupati karen melakukan sejumlah gebrakan, di antaranya menjalankan pendidikan gratis dan berkualitas selama 12 tahun, menyajikan pelayanan kesehatan gratis yang mencakup operasi caesar, obat-obatan, ambulance, bahkan memberikan santunan kematian lewat sistem asuransi. Ahok juga sukses membenahi infrastruktur jalan di Beltim dengan membangun jalan hotmix, serta memberikan bantuan untuk ratusan rumah yang sudah mau warga yang nyaris roboh. Ahok sungguh menyadari bahwa menjadi pemimpin profesional berarti secara sukarela bertindak sebagai pelayan masyarakat.

Karena integritasnya, pada tahun 2007 Gerakan Tiga Pilar Kemitraan yang terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia, KADIN dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara memberikan Ahok penghargaan sebagai tokoh anti korupsi dari unsur penyelenggara  negara. Majalah Tempo pun menobatkannya sebagai satu dari “10 tokoh” yang mangubah Indonesia karena Ahok dinilai memberi inspirasi bagi model kepemimpinan di Indonesia.

Penutup

“Kegilaan” Jokowi-Ahok adalah kata lain dari rekam jejak dan integritas keduanya dalam politik. Kedua tokoh muda ini adalah bagian dari segelintir politisi yang teguh meyakini politik sebagai media transformasi, bukannya ajang transaksi. Maka, tampilnya “duet gila” ini sebagai kontestan dalam Pilkada DKI Jakarta sesungguhnya membawa harapan baru bagi bangkitnya politisi yang menghayati politik sebagai sarana memperjuangkan “nilai” (values), bukannya sarana mengakumulasi nominal.

Tak hanya Jakarta, Indonesia saat ini sungguh membutuhkan hadirnya pemimpin yang teruji, yang kata dan lakunya sejalan, sehingga bisa menjadi teladan bagi politisi lainnya. Maka penulis berharap, jika dipercaya memimpin Jakarta, Jokowi-Ahok bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia dengan menampilkan model kepemimpinan yang bersedia menjadi pelayan publik dan mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas segalanya.

Namun, Jakarta bukanlah Solo ataupun Beltim. Masalah dan tantangan Jakarta tentu jauh lebih kompleks dan rumit, ketimbang Solo dan Beltim. Maka, tak ada jaminan Jokowi-Ahok akan sukses di Jakarta. Namun, bermodalkan integritas yang telah teruji, tak mustahil pula nantinya Jokowi-Basuki akan mampu membenahi Jakarta dan menghadirkan “Jakarta Baru”. Integritas teruji, itulah yang dimiliki Jokowi-Ahok, yang tak tampak dari kandidat lainnya. Jakarta, juga Indonesia hari ini sangat membutuhkan pemimpin berintegritas dengan karakter pelayan, pemimpin yang tak sekedar cerdas berpidato, tapi pemimpin yang piawai mengucapkan pidatonya dalam tindakan nyata.***

Oleh: Ansy Lema

Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta, Presenter Dialog Politik TVRI Nasional.

Sumber: Kompasiana

5 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here