Antitesis Politisi-Birokrat

1
59

Ahok.Org – Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta telah digelar 11 Juli 2012. Kejutan politik terjadi. Di luar dugaan, pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) berhasil meraih suara terbanyak.

Tak satu pun hasil survei prapemilukada yang memprediksi Jokowi-Ahok bakal unggul. Semua hasil survei hanya menempatkan Jokowi-Ahok di urutan kedua dengan dukungan suara tak lebih dari 20%, jauh di bawah raihan suara Foke-Nara. Pertanyaannya,mengapa di saat masyarakat mengalami krisis kepercayaan akut terhadap politisi dan parpol karena melulu berorientasi rent seeking,pasangan yang diusung PDIP-Gerindra ini justru mendulang suara terbanyak? Tulisan ini menyorot gaya politik Jokowi yang sangat berbeda dengan kiprah politisi dan birokrat kebanyakan, serta kontribusinya bagi keunggulan pasangan Jokowi-Ahok di putaran pertama.

Politisi-Birokrat Langka

Jika dicermati, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok di putaran pertama lebih karena faktor individu calon, bukan karena kinerja mesin politik parpol.Peran parpol tidak begitu signifikan mendongkrak tingkat elektabilitas pasangan Jokowi-Ahok. Dalam menjatuhkan pilihan,pemilih lebih mempertimbangkan sosok kandidat, ketimbang melihat parpol yang mengusung pasangan kandidat.

Khusus menyorot sosok Jokowi, ia bagaikan “magnet” yang mampu menarik simpati dan melipatgandakan dukungan pemilih bagi duet “Jakarta Baru”. Jokowi adalah model politisi langka, sebagaimana pasangannya,Ahok, yang juga politisi-birokrat tak lazim. Gaya politik Jokowi tak lazim, dan sangat bertolak belakang dengan sepak terjang politisi kebanyakan. Sebagai pejabat publik, corak kepemimpinan Wali Kota Solo ini kontras dengan perilaku pejabat publik yang jamak disaksikan masyarakat.

Sementara sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta, gaya kampanyenya yang menawarkan harapan baru akan hadirnya “Jakarta Baru” yang modern, humanis, bermartabat, tertata baik dengan kualitas pelayanan publik yang prima,diminatikhalayakramai. Tak mengherankan, ia kemudian mendapatkan dukungan luas publik Jakarta. Beberapa karakter khas Jokowi dapat dikemukakan untuk membedakannya dengan tipikal para politisi-birokrat kebanyakan.Kepribadian Jokowi adalah aset politik utamanya yang berkontribusi besar bagi kemenangannya di putaran pertama.

Pertama, Jokowi sungguh menampilkan sosoknya sebagai “orang biasa”,bukannya “orang besar”. Padahal sebagai calon gubernur sekaligus Wali Kota Solo, ia bisa saja berperilaku layaknya “orang besar”. Dengan memosisikan dirinya sebagai “orang biasa”, menegaskan bahwa Jokowi lebih suka menjadi pelayan publik, ketimbang pejabat yang mesti layani.Sama sekali tak tampak kesan ningrat atau feodal dalam diri Jokowi. Kedua, ketika berkomunikasi dan berinteraksi dengan aneka lapisan warga dari pelbagai latar belakang,termasuk masyarakat miskin, Jokowi tidak pernah menampilkan sosoknya sebagai “orang asing” yang berjarak dengan rakyat.

Sementara di sisi lain,mayoritas politisi dan pejabat justru menjadi sangat asing ketika bertemu warga miskin. Pejabat adalah tuan,rakyat adalah hamba. Tak demikian halnya dengan Jokowi. Ia benar-benar merakyat, bahkan berhasil menjadikan dirinya bagian dari masyarakat kelas bawah. Ketiga, sebagai pemimpin, kata dan laku Jokowi sejalan. Kepeduliannya terhadap warga miskin,misalnya,sungguh ia buktikan melalui kinerjanya, sementara kebanyakan politisi hanya piawai berpidato, namun miskin implementasi. Fakta demikian yang antara lain kian mengakibatkan publik kehilangan kepercayaan (distrust) pada politisi.

Di sisi lain,cara Jokowi mengucapkan pidatonya adalah melalui tindakan nyata. Ia bukan tipe pemimpin yang menghabiskan waktunya dengan rapat di ruangan ber-AC, tetapi turun lapangan untuk memimpin dan mengawasi langsung program pembangunan yang tengah dijalankan. Keempat, politik pencitraan bukan merupakan andalan Jokowi. Justru tanpa politik pencitraan, Jokowi mampu mendulang simpati dan dukungan publik. Hal ini berbeda dengan para politisi yang gemar mendandani tampilan mereka di hadapan publik dengan mengandalkan politik pencitraan. Mereka rela mengucurkan banyak dana untuk melakukan politik pencitraan.

Sementara gaya kepemimpinanJokowibersumber dari kepribadiannya yang otentik, bukan karena polesan konsultan politik. Ia lebih suka tampil apa adanya. Dengan demikian, politik Jokowi adalah “politik otentik”, bukan “politik kemasan”. Kelima,kebanyakan politisi mengidap “rabun jauh politik”. Orientasi politik hanya berkisar merebut, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan (struggle for power).Meminjam istilah guru bangsa yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif,tak heran jarak pandang politisi jenis ini tak pernah melampaui pekarangan rumah.

Hal ini bertolak belakang dengan gaya politik Jokowi.Politik Jokowi tak berorientasi jangka pendek, tapi jangka panjang, bahkan melintas generasi. Politik Jokowi adalah “politik visioner”, bukan “politik pragmatis”. Sebagai misal, Jokowi bukan tipe politisi yang permisif untuk melakukan politik uang demi menang pemilukada. Keenam, Jokowi berpolitik bukan untuk “cari makan”,tapi bekerja agar rakyat yang dipimpinnya “bisa makan”. Baginya, politik adalah wahana untuk mengabdi demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Hal ini bertolak belakang dengan orientasi mayoritas politisi yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri. Sebagai bukti, Jokowi adalah kepala daerah yang sama sekali tidak pernah mengambil gajinya. Ia birokrat bersih yang tidak pernah tersangkut kasus korupsi. Jokowi sungguh menampilkangaya politikedukatif, substantif, emansipatif, dan transformatif yang merupakan hakikat dasar politik.Baginya, politik bukan tindakan eksploitasi, melainkan emansipasi.Politik juga bukan soal transaksi, tapi edukasi.

Bukan pula komisi yang utama dalam politik, melainkan visi dan dedikasi. Di tangan Jokowi pula, politik tidak soliter, tapi menjadi solider. Akhirnya, lewat kiprah politiknya, Jokowi hendak menegaskan bahwa politik bukan muslihat, tapi amanat yang mesti dicapai secara etis dan cerdas. Politik ala Jokowi bukan perjuangandeminominal, tapidemi tegaknya nilai demokrasi dan keadilan (democratic values).

Dengan itu,kemunculan Jokowi di kancah politik merupakan antitesis bagi praktek politik mayoritas politisi-birokrat yang kerap melecehkan hakikat luhur politik.Tak saja untuk Jakarta, politik Jokowi adalah inspirasi bagi bangkitnya politik yang luhur dan bermartabat bagi Indonesia.[seputar-indonesia.com]

Y F ANSY LEMA
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta, Presenter Dialog Politik TVRI Nasional

1 COMMENT

  1. After all he truly implemented the javanese cultural wisdom concept but he makes a good sinergy with creativity, thus become new paradigm. His political role has root in javanese wisdom, not western concept. New redefinition of Jas Merah – Solo future is Solo past. And Jakarta Baru – seem already represent in activity of his supporter. As being digitally, the election will be a magnet to review how far the democratic system implemented in this city. As face of Indonesia. Last but not the least, Jokowi – Ahok likes “tumbu entuk tutupe” both of them complemented each other. Greets from tanah seberang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here