Segelintir Teladan ditengah Lumpur

0
59

Mereka menampik yang bukan haknya, apalagi ber-KKN. Di antaranya, ada pula yang gigih mengungkapkan korupsi. Mereka, cahaya dalam kegelapan.

Andrianto Soekarnen, Bajo Winarno, Lily Evelina, dan Palce Amalo (Kupang)
Ibarat mutiara di dalam lumpur, begitulah sekitar 5% wakil rakyat menurut perhitungan Farid Faqih, Koordinator Government Watch. Tak banyak memang orang-orang yang terbilang bersih itu. Tapi sebatang lilin yang menyala di kegelapan adalah sebuah harapan.

Di DPR-RI, kita mengenal J.E. Sahetapy, pakar hukum asal Universitas Airlangga, Surabaya, yang dulu suka berjalan kaki atau naik taksi, dan kini sebagai wakil rakyat ia berkendaraan Kijang. Ia jarang memakai jas, kecuali pada acara khusus, dan itu sebenarnya sebuah protes terhadap kelakuan koleganya yang dinilainya �memalukan�. Di kalangan dewan, Sahetapy dikenal kebal rayuan ber-KKN.

Selain Sahetapy dari PDIP, ada Mashadi, anggota Komisi I dari Fraksi Reformasi. Di zaman hampir semua orang ber-HP ria, jangan bertanya nomor handphone Mashadi—ia tak punya alat komunikasi yang sudah umum itu. Juga, kalau Anda hendak menumpang dia, silakan memakai helm, karena Mashadi hanya punya sebuah sepeda motor—itu pun dipakai anaknya ke kuliah. Jadi, kalau dia tak naik taksi, Anda beruntung bisa ketemu wakil rakyat ini di bus kota. Atau Anda tak akan pernah beruntung karena tak pernah berbus kota?

Benar, ia pun kebagian Rp 70 juta sebagai tunjangan pembelian kendaraan. Oleh Mashadi, uang itu ia gunakan untuk membeli rumah di kawasan Depok yang lebih dibutuhkannya. Rumah itu pun sederhana, dengan isi sederhana pula. Menurut Ratna Mulyana, istri Mashadi, keluarga itu sudah biasa sederhana sejak sebelum suaminya menjadi anggota dewan. Jadi, tidak ada masalah. Bahkan, kadang, istri wakil rakyat ini harus meminjam kanan-kiri karena uangnya habis.

Seperti Sahetapy, Mashadi juga jarang menggunakan jas. Ia lebih terbiasa menggunakan kemeja atau baju koko bila menghadiri sidang. Mashadi termasuk jarang absen—paling, lima kali saja ia absen dalam satu tahun, itu pun dengan surat izin.

Seperti yang lain, gaji Mashadi tak utuh. Dari Rp 12 juta, ia harus rela menyerahkan separuhnya untuk dana partai. Terkadang, tutur suami-istri ini, mereka menerima kiriman amplop. Isi amplop itu jelas: uang. Yang tak jelas, untuk apa uang itu diberikan kepada Mashadi. Karena itu, selalu amplop tersebut langsung dipulangkan ke alamat pengirim.
Ada juga Jacobus, anggota Komisi VII, komisi yang dianggap kering karena urusannya adalah perburuhan, kaum pengungsi, kemiskinan, dan sejenisnya. Menurut yang mengenalnya, anggota fraksi dari PDIP ini tidak banyak berubah dari ketika masih menjadi anggota DPRD Makassar dan sekarang anggota DPR Pusat.

Di Makassar, Jacobus mengarungi jalan-jalan dengan vespa. Di Jakarta, sebuah mobil bekas setia membawanya ke mana dia pergi. Itulah hasil dari tunjangan pembelian kendaraan Rp 70 juta. Ia tak mau membeli mobil baru, karena itu bukan prioritas.

Sempat terberitakan di Kompas, seorang teman Jacobus hendak membuatkannya jas baru. Soalnya, dari sidang ke sidang, temannya ini memperhatikan kok yang satu ini baju dan jasnya itu-itu juga. Jacobus menolaknya dengan halus. Seperti mobil, baginya nilai jas itu ada pada fungsinya, bukan baru atau harganya. Jadi, buat apa memboroskan uang di tengah lapisan besar rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan ini.

Adalah K.H. Lutfi Achmad, anggota Komisi VII DPR, yang merasa lebih dari cukup hidup di Jakarta dengan gaji Rp 12 juta per bulan. Istri dan empat anaknya pun tak pernah minta yang lebih. Setiap akhir pekan, Lutfi kembali ke kampung halamannya di Jember, Jawa Timur, untuk menengok para santri di pesantren yang dipimpinnya. Guna menghemat biaya, ia pulang-pergi menggunakan kereta api, betapapun murahnya kini tiket pesawat, secara nominal masih lebih tinggi tiket pesawat terbang.

Di daerah, salah satu dari segelintir yang bisa dianggap bersih adalah Arif Rahman. Mantan wartawan dan dosen yang menjadi anggota DPRD Nusa Tenggara Timur ini dikenal bersih dan gigih memberantas KKN di provinsinya.

Semasa bekerja di Harian Umum Pos Kupang, 1993-1994, Arif telah melihat banyak praktik tak beres dalam pengelolaan dana proyek di Nusa Tenggara Timur. Misalnya, ia mencium bau korupsi pada program bantuan sapi untuk Kabupaten Ende. Dari 18 sapi yang seharusnya diserahkan Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur, hanya seekor yang sampai tujuan. Sisanya, 17 ekor, entah meladang ke mana.

Bermula dari membongkar kasus kecil itu, Arif pun memfokuskan diri untuk mengungkapkan korupsi. Kemudian, ketika era reformasi berembus dan kehidupan politik menjadi terbuka, Arif memilih partai sebagai kendaraan perjuangannya: Partai Bulan Bintang. Kebetulan, ia terpilih menjadi wakil rakyat.

Melawan arus besar harus berani menanggung risiko. Arif sempat masuk sel tahanan Polres Kupang selama tiga hari. Itu terjadi Februari lalu karena ia dituduh melakukan tindak pidana pencemaran nama baik Bupati Flores Timur, Felix Fernandez.

Kasus yang diungkapkan Arif menyangkut mark up pembelian Kapal Ferry Cepat Andhika Mitra Express oleh Pemerintah Kabupaten Flores Timur. Feri itu dibeli tanpa dibahas dalam sidang penyusunan APBD di DPRD terlebih dahulu. Arif menemukan bukti bahwa kapal tersebut kapal bekas dan nilainya sekitar Rp 150 juta. Padahal, menurut Bupati Felix Fernandez, dia menyebutkan feri yang dibeli itu barang baru seharga Rp 3,5 miliar. Dugaan mark up pun semakin kuat karena baru dioperasikan beberapa kali, kapal itu rusak pada bagian mesin. Perbaikan mesin berongkos Rp 1 miliar pun diambil dari APBD atas persetujuan DPRD.

Saat awal-awal masuk dewan, Arif sempat ditertawakan sebagai pahlawan kesiangan. Pernyataannya tentang 75% dana proyek di Nusa Tenggara Timur yang dikorupsi oleh pejabat ternyata tanpa dukungan data yang konkret. Belajar dari pengalaman itu, mantan wartawan ini kemudian rajin mengumpulkan barang bukti.

Bisa dikatakan Arif bekerja sendiri, ia seorang lone ranger. Kalau ada yang mendukung, tak datang dari sesama wakil rakyat, melainkan langsung dari masyarakat yang peduli terselenggaranya pemerintahan yang bersih. Laporan demi laporan berdatangan. �Data-data yang saya miliki datang langsung dari masyarakat,� katanya.

Namun yang datang bukan hanya laporan, tapi juga teror. Suatu ketika, saat masih mengendarai sepeda motor, ia pernah diserempet sebuah Kijang yang membuntutinya sejak dari kantor. Arif pun masuk rumah sakit. Teror itu diduga berkaitan dengan tindakan Arif menyoroti penyimpangan sisa dana pemilihan umum tahun 1999 sebesar Rp 3,6 miliar oleh Panitia Pemilihan Daerah (PPD) I Nusa Tenggara Timur. Sisa dana itu disimpan panitia daerah meski seharusnya dikembalikan kepada Komisi Pemilihan Umum di Jakarta. Untuk kasus ini, Arif sempat mendatangi Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur untuk menyerahkan sejumlah bukti penyimpangan seperti catatan pembelian handy talky dan 16 unit mobil Kijang.

Selain teror, ada juga amplop. Pernah, seorang pegawai pemerintah daerah bertamu dengan oleh-oleh segepok uang. Secara halus abdi negara itu meminta Arif berhenti bicara soal korupsi. Tentu saja bujukan itu kena batunya. �Banyak yang seperti itu dan saya tentu saja menolaknya,� tutur Arif.

Di mata Marsel Tupen Masan, pegawai bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur, Arif adalah orang yang kebablasan di tengah-tengah euforia reformasi. Menurut Marsel, aktivitas Arif itu akhirnya terbentur jaring kekuatan riil di lapangan yang tidak pernah disadarinya. Dalam beberapa kasus, Arif bahkan harus menghadapi tembok kokoh yang terdiri dari lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif—dan ia seorang diri.
Andai saja, presiden 2004 adalah tokoh sederhana yang siap memberantas korupsi dalam arti sebenarnya, mereka-mereka itulah yang akan menjadi kekuatan di lapangan. Ketika itu, Arif dan yang lain-lain tak akan sendirian. Sebuah Indonesia yang baru bakal terbit.

Anda bersama Arif dan lain-lain itu, atau memilih di seberang?

http://www.majalahtrust.com/liputan_khusus/liputan_khusus/280.php

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here