Urgensi Pengaturan dan Penerapan Pembuktian Terbalik

1
101

Ahok.Org (27/01) – Mem-booming-nya perkara Gayus Halomoan Tambunan membuat Presiden SBY mengeluarkan 12 instruksi penanganan perkara Gayus Tambunan, satu diantaranya yang menarik untuk dicermati bersama adalah instruksi SBY yang kelima yaitu agar aparat penegak hukum menerapkan pembuktian terbalik  untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum di negeri ini.

Mengacu pada KUHAP sebagai induk hukum acara pidana untuk menegakkan hukum pidana materill, maka beban untuk membuktikan suatu tindak pidana adalah di tangan Jaksa Penuntut Umum, sebaliknya dengan penerapan pembuktian terbalik, maka beban pembuktian tentang adanya suatu tindak pidana tersebut menjadi bergeser bahkan berbalik menjadi beban terdakwa.

Lalu benarkah pembuktian terbalik atau lebih tepatnya disebut “Pembalikan Beban Pembuktian” (Reversel Burden Of Proof) sudah dapat diterapkan di Republik ini, jawabannya adalah belum sepenuhnya dapat diterapkan. Alasannya adalah karena pengaturan mengenai pembuktian ini sangatlah minim dan belum bersinergi dengan para aparat penegak hukum, sehingga ada anggapan dari sebagian kalangan bahwa dengan diselipkannya “sedikit ketentuan” mengenai pembuktian terbalik tersebut merupakan hiasan belaka dalam republik ini.

Sebagai contoh sangat minimnya pengaturan mengenai ketentuan pembuktian terbalik tersebut dapat dijumpai dalam  Pasal 12 b UU No 20 Tahun 2001 Jo UU No 31 Tahun 1999 yang pada intinya menyebutkan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dapat dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan untuk nilai gratifikasi di atas Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukanlah merupakan suap, dilakukan oleh terdakwa (penerima gratifikasi).

Yang lebih membuat peraturan perundang-undangan di negeri ini semakin tumpang tindih adalah dengan dikeluarkannya UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam UU ini kembali diselipkan “Sedikit” ketentuan mengenai pembuktian terbalik, yaitu dalam pasal 77, yang menyatakan: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”
Sebaliknya dalam pasal 69 dikatakan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (predicate crime).

Yang menjadi pertanyaan bagaimana mungkin UU ini dapat diterapkan secara efektif dan efisien, jika kejahatan asal (predicate crime), misalnya korupsi yang dilakukan sebelum “mencuci uang” tersebut tidak ada atau tidak terbukti? Kemungkinan besar  dengan diberlakukannya UU ini akan membuat banyak pegawai negeri sipil yang memiliki sejumlah kekayaan akan “ketar-ketir” dan “menyerang balik” dengan tuduhan bahwa UU ini  telah melanggar  Hak asasi dan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang harus dijunjung tinggi dalam penegakkan hukum pidana.

Menurut pendapat dari Victor Hutabarat, SH selaku mantan hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, penerapan pembuktian terbalik adalah gambaran ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya, yaitu membuktikan adanya kesalahan atau tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa. Namun menurut hemat penulis, kini sudah saatnya Indonesia berkaca pada Negara–Negara Common Law yang sudah menerapkan sistem pembuktian terbalik untuk mengungkap tindak pidana korupsi maupun pencucian uang, karena sudah tidak ada pilihan lain untuk memberantas “lingkaran setan” korupsi yang kian hari makin merugikan Negara yang berujung sengsaranya masyarakat kecil.

Penulis berpendapat dengan adanya kekosongan hukum seperti layaknya saat ini, tentunya para mafia hukum akan memanfaatkan situasi ini untuk semakin merajalela dalam melakukan tindak pidana kemudian mencucinya dalam kemasan dan bentuk yang terlihat lebih “suci”. Oleh Karena itu supaya ada pengaturan hukum yang jelas dan supaya tidak ada lagi fitnah–fitnah yang dilontarkan kepada Pegawai Negeri Sipil yang memiliki harta yang rasanya kurang wajar dapat dimilikinya, maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah bersama-sama dengan DPR untuk menunda pembuatan dan pengesahan UU khusus mengenai Pembuktian Terbalik, tentunya dalam porsi yang wajar dan tidak melanggar asas-asas hukum, serta untuk segera merevisi KUHAP sebagai ujung tombak penegakkan hukum pidana, yang sudah berumur dua dasawarsa lebih. [Okezone]

Albert Aries, SH, MH
Penulis adalah Advokat pada kantor Jauhari, Albert & Partners (JAP Law Firm)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here