Berawal dari Kuli Kontrak Timah

0
90

Bangsa China sudah lama mengenal Pulau Belitung. Mula-mula, pulau itu merupakan tempat persinggahan tentara atau kaum pedagang, menjadi lumbung timah yang menggiurkan ratusan ribu kuli kontrak, kemudian menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk melahirkan generasi-generasi baru.

Menurut sejarawan Belitung, Salim Yah, salah satu sumber tertulis asal China menyebutkan, komunitas China mulai menetap di Pulau Belitung tahun 1293. Saat akhir kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu, rombongan kapal tentara China yang berlayar hendak menyerang Kerajaan Singasari, Jawa Timur, dihantam badai besar.

Mereka terpaksa berlabuh untuk memperbaiki kapal yang rusak di Pulau Belitung yang mereka sebut dengan Kau-Lan. Namun, sebanyak 106 anggota tentara jatuh sakit sehingga tidak dapat ikut melanjutkan perjalanan, dan kemudian menetap di pulau tersebut.

Selain itu juga rombongan tentara China di bawah kepemimpinan Laksamana Cheng Ho juga sempat singgah di Pulau Belitung abad ke-18. Dari pulau itu, rombongan berlayar ke Palembang, Sumsel, kemudian ke Semarang, Jawa Tengah, bahkan sampai ke Jawa Timur.

Salah satu bukti keberadaan komunitas di Pulau Belitung terlihat dari adanya kelenteng tertua yang didirikan tahun 1815 di daerah Sijuk, Kabupaten Belitung.Kedatangan bangsa China besar-besaran terjadi sejak Belanda membuka perusahaan penambangan timah yang kemudian dinamai Billiton Maatschappij (BM) di Air Lesung, Kecamatan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, tahun 1851.

Untuk itu, Belanda mendatangkan orang-orang China miskin untuk bekerja sebagai kuli kontrak. Kelompok ini umumnya berasal dari daerah utara Kwantung dan selatan Fukien, China, dan biasa disebut Hakka. Kadang, mereka dipanggil Xinke atau orang Khek.

Selain itu, ada juga orang China kaya yang datang atas kemauan sendiri untuk berdagang. Mereka disebut kaum Hokkian yang berasal dari daerah Amoy, China.Kelompok lain yang datang adalah kelompok Hainan yang berasal dari Pulau Hainan, kelompok Kanton dari Pulau Kanton, dan kelompok Techiu dari daerah Bwatow, China. Masing-masing kelompok memiliki bahasa sendiri-sendiri.

Kuli kontrak

Para kuli kontrak bekerja dalam sebuah kongsi yang terdiri dari sekitar lima orang dan dipimpin kepala parit. Mereka bekerja dalam sistem kontrak tertentu dengan upah yang dipotong biaya akomodasi dan konsumsi yang telah dinikmati.

Setelah bekerja, mereka beristirahat di rumah panjang yang disebut Numpang. Salah satu Numpang yang masih tersisa adalah Numpang Empat di Manggar, ibu kota Kabupaten Belitung Timur.

Perjalanan kuli kontrak dari daratan China ke Belitung melalui diatur seorang kapiten bernama Ho A Yun. Seiring perkembangan tambang timah, jumlah kuli kontrak terus bertambah dari tahun ke tahun. Tahun 1851, terdapat 28 orang yang datang, tahun 1856 sebanyak 627 orang, dan meningkat menjadi 1.326 orang tahun 1864. Tahun 1866, jumlahnya naik lagi menjadi 2.724 orang, dan tahun 1905 sebanyak 22.670 orang. Mereka terus datang hingga menjelang kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

Sebagian kuli kontrak pulang kembali ke kampung halaman di China, sebagian menetap di sejumlah kawasan di Pulau Belitung. Saat ini, penduduk Pulau Belitung sebanyak 211.000 jiwa, dan sekitar 15 persen atau 31.650 jiwa di antaranya adalah masyarakat keturunan China. Khusus di Kabupaten Belitung Timur, jumlah masyarakat keturunan China sekitar 6.000 jiwa atau 10 persen dari total penduduk sekitar 60.000 jiwa, kata Salim Yah.

Toleran

Sejarah kehidupan masyarakat yang plural dan toleran sudah lama tumbuh di masyarakat Belitung Timur. Sejak awal, keturunan China yang menetap di pulau itu tidak menutup diri dalam kelompok yang eksklusif, melainkan membaur untuk hidup bersama berbagai kelompok masyarakat. Keturunan China menggeluti pekerjaan bermacam-macam. Ada yang menjadi pedagang kaya raya, tetapi ada juga yang bertani sayuran, menjadi sopir, nelayan, atau kuli di pasar dengan penghasilan yang pas-pasan.

Mereka bisa memeluk agama Konghucu, Buddha, Kristen, Katolik, atau Islam. Latar belakang pendidikan mereka juga berbeda-beda sesuai dengan kesadaran dan kemampuan ekonomi.

Dalam perkembangannya, pembauran itu merasuk dalam hampir semua aspek kehidupan, seperti pekerjaan, tingkat ekonomi, agama, dan pendidikan. Dapat dikatakan, wacana pluralisme mendapatkan penerjemahan yang begitu nyata dan alami dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Belitung Timur. Kondisi itu terus berlangsung hingga sekarang.

Maka tidaklah mengherankan apabila Pulau Belitung termasuk daerah yang aman saat meletus kerusuhan rasial menjelang kejatuhan Presiden Soeharto sekitar bulan Mei tahun 1998. Upaya provokasi untuk meletupkan konflik antaretnis tidak mendapatkan sambutan dari masyarakat.

Wajarlah, jika kemudian banyak keluarga keturunan China dari sejumlah daerah di Nusantara yang hijrah sementara waktu. Di pulau yang indah itu mereka merasa lebih aman.

Saat ini, toleransi di Belitung Timur gampang ditemui dalam budaya minum kopi di puluhan warung yang berderet-deret di pinggir jalan Kota Manggar.

Semua lapisan masyarakat biasa nongkrong untuk menyeruput kopi panas di warung langganan dari pagi, siang, atau malam hari. Saat masuk warung, mereka melepaskan segala sentimen sosial, ekonomi, dan kepercayaan yang dimiliki. Kami di sini hidup nyaman dengan menghormati semua golongan. Perbedaan ras, etnik, agama, atau ekonomi, tidak bisa jadi alasan untuk membuat kelompok-kelompok yang eksklusif, kata A Siu Kiun (49), pemilik warung kopi Beringin di pojok

jalan yang ramai di Manggar, Kamis (4/8) pagi itu.

Para langganan duduk satu meja di warung kopi Beringin dengan perasaan setara. Mereka leluasa membicarakan apa saja, termasuk langkah apa yang kira-kira bakal diambil pasangan Bupati dan Wakil Bupati Basuki Tjahaja Purnama-Khairul Efendi yang baru saja dilantik sehari sebelumnya. (iam/Kompas)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here