Basuki: Perlu Undang-Undang Pindahkan Ibu Kota

6
93

Ahok.Org – Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan perlu undang-undang untuk bisa memindahkan sebuah ibu kota negara.

“Kita mah nurut aja kalau memang DPR sama presiden putuskan. Mesti ada undang-undangnya. Kan undang-undangnya DPR yang bikin,” kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, Senin (9/9/2013).

Mantan anggota Komisi II DPR itu menuturkan, pihaknya sebagai pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mendukung langkah pemerintah pusat, pasalnya kewenangan memindahkan ibu kota bukanlah kebijakan Pemprov DKI.

“Kita oke aja. Kan bukan kepindahan Pemprov DKI tapi soal pemindahan ibu kota. Bukan pindahin Pemprov DKI loh,” ujarnya.

Sebelumnya, anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani, meragukan pemindahan ibu kota bisa menyelesaikan segala permasalahan Jakarta termasuk di dalamnya soal kemacetan.

“Saya kira gini itu kan domainnya pemerintah, nanti pemerintah nantinya saya belum tahu dasar hukum pemindahan ibu kota, tapi SBY itu sudah wajar, tapi bukan bentuk tim yang ditunggu masyarakat, tapi langkah konkret, apakah betul ini sebagai mengentaskan kemacetan,” kata Yani di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2013).

Dia pun menyarankan agar pemerintah lebih memperhatikan soal perbaikan infrastruktur kota Jakarta yang dinilai sudah tertinggal.[Okezone]

6 COMMENTS

  1. Kalau ibukota negara jadi pindah misal ke papua sana, maka propinsi papua yang memperoleh status DKI Papua. Sedang Jakarta berubah jadi propinsi biasa saja. mungkin juga dilebur menjadi bagian dari propinsi jawa barat. smua perencanaan mega2 proyek di jakarta harus ditinjau ulang kembali 🙁

    apakah ini berarti DKI 1 & DKI 2 akan ikut dalam bursa capres / cawapres 2014 besok ini ?!..

  2. berarti makin ngaco opininya…!

    memindahkan ibukota, berarti seluruh jajaran Kementrian akan ikut pindah, dan pastikan infra strukturnya bisa dibuat untuk masa-masa kedepan…! Kota yg dipilih juga akan berubah status menjadi DKI….(nama kotanya)

    Daerah Khusus Mteropolitan Jakarta, tetep aja tanpa perubahan sampai 2-3 periode…semua proyek juga akan selesai!!

  3. Melempar wacana pemindahan Ibukota biarlah jadi bahan debat diskusi, tapi jangan lupakan masalah mendasar kebutuhan rakyat yang makin mencekik, harga harga melambung, Rupiah terkapar,korupsi,Upah, dll. terlalu banyak yg belum terselesaikan. Rakyat butuh harga murah dan pangan murah, bukan istana perlu pindah kemana, itu tidak penting bagi rakyat. salam jkt baru.

  4. Apa ini berarti pempu serius nanggepin saran “pindah ibukota dgn cara sistem kontrak” ala ane 1/2 taon lalu?

    Karena memang dgn sistem ‘kontrak’ ini bisa mendorong setiap daerah yg tertarik utk dijadikan ibukota utk mulai membenahi kota2 besarnya sesuai dgn kriteria “infrastruktur ibukota” agar pempu bisa tertarik dan pindah kesana.

    Bayangkan saja, kota megapolitan yg menyandang title “ibukota” spt Jakarta ternyata masih BELUM PUNYA infrastruktur GAS yg menjangkau ke seluruh wilayah DKI, shg warganya masih harus nyari2 tabung gas kemana2, mo bikin bis ber-BBG kudu bangun dulu infrastrukturnya lagi – weleh koq rwpot2 bener! Dah ada kabel2 listrik gede melintang di seluruh penjuru jalan2 DKI, tinggal tarik aja buat ngisi batere bis2 litrik, eh malah cari2 masalah baru…
    Tanya sendiri kenapa membangun KRL jauh lebih mudah di jakarta drpd mengganti kereta diesel dgn gas utk keperluan commuter line – sudah permanen kan skrg? Skrg semuanya pada pake KRL, bukan kreta diesel/gas (KRD/KRG) kan?
    Terbukti tarik kabel listrk trus atur beban trafo utk pemakaian KRL jauh lebih mudah dan murah daripada bikin infrastruktur gas baru yg serba telat binti nanggung (tak bisa menjangkau area perumahan/wilayah lainnya yg butuh biaya lebih mahal utk pembebasan lahan dan waktu pembangunan lama yg bisa bikin macet tambahan – krn area perumahan/resto juga butuh gas utk kompor2 mereka – kalau di area bermusim dingin, maka semua area bisnis+perumahan akan butuh gas utk pemanas ruangan juga), alias cuma utk kendaraaan BBG tertentu saja (speda motor sptnya tak ada versi BBG-nya krn gak feasible [volume tanki gas lebih besar+berat] dibanding ganti langsung dgn speda motor listrik [lebih kecil+ringan]).

    Dengan sistem ‘kontrak’ ini, setiap kota/daerah yg tertarik (atau dipilih dgn sistem deadline/tenggat waktu) utk jadi HOST “Capital City” akan membenahi seluruh infrastruktur penting yg diperlukan utk “ibukota” yg maju dan modern, sebelum bisa ditempati oleh pempu dan jajarannya nanti.

    Dgn demikian tidak ada yg dirugikan dgn sistem ‘kontrak’ ini.
    Kota2 yg ikut proses pencalonan “ibukota” telah membenahi diri dgn baik sbg kota maju dan modern agar sesuai dgn kriteria “ibukota yg modern/maju”, dan jika tak terpilih, gak rugi juga kan? Apa ada yg keberatan jika kota2 tsb jadi jauh lebih maju dan modern drpd dulu tanpa pembenahan infrastruktur scr total?
    Lihat sisi positifnya, tanpa disengaja, daerah2 di berbagai wilayah di Indonesia bisa mulai berbenah mulai dari daerah itu sendiri (negri kita sudah bersistem desentralisasi kan?) tanpa harus disuruh2/diawasi pem.pusat lagi (capek2 pempu datengin investor2 kemari, pemdanya malah ogah bangun infrastruktur2 dan insentif2 perangsang yg dibutuhkan mereka [spt falsafah “radja ketjil”: yg penting trima ‘cash in’ and no ‘cash out’ as minimal as possible, yg prinsipnya: arus debit keluar utk pembangunan harus lebih kecil daripada kredit masuk ke ‘kantong’] – konyol banget kan?).

    Apa untungnyaa jika daerahnya jadi “ibukota”? Ya lihat saja Jakarta, kalo duitnya kurang, kan bisa nego sama pempu utk tanggung renteng bersama proyek2nya.
    Selain tentu saja dgn sistem ‘kontrak’ maka kota yg dijadikan ibukota tsb akan dapat ‘insentif’ tambahan lebih berupa biaya kontrak (tahunan atau multi-year payments) yg dibayarkan pempu selama dijadikan ibukota. Pempu gak perlu pusing musti bangun/nyediakan ini-itu, semuanya (pembangunan infrastruktur tambahan, features, dst) akan ditanggung pemda yg dijadikan ibukota tsb. Toh selama ini pemerintah (pusat) juga tetap harus bayar biaya pakai listrik mereka langsung ke PLN kan? jadi mirip spt ‘ngontrak’ juga kan?

    Sistem ‘kontrak’ ibukota ini juga membolehkan implementasi strategi “mobilisasi ibukota” yg lebih mudah – krn setiap kota/daerah yg punya standar “ibukota” bisa ditempati dgn relatif mudah (tinggal pindah bawa ‘koper’ saja), maka mobilisasi ibukota dgn cepat memang dimungkinkan sekali.
    Ini berguna sekali jika wilayah Indonesia diserang musuh scr tiba2 scr masif tepat ke jantung ibukota dan dgn jumlah kekuatan defensif kota yg kurang memadai utk bertahan, shg cara2 satunya cuma memindahkan ibukota dgn cepat agar NKRI tak runtuh tiba2 saat itu juga.
    Atau bisa dilakukan utk menekan pemberontakan dan korupsi (atau pemercepatan pembangunan daerah2 tertinggal) di wilayah2 yg jauh dari ibukota, dan memindahkannya akan membuat lebih dekat ke target tsb shg lebih mudah dan dekat utk pengawasan/kontrol lapangan nya.
    Ada beberapa negara yg punya 2 ibukota (satunya sbg ‘cadangan’/shadow capital) dgn maksud tertentu. Bahkan KL di Malaysia bisa dianggap sbg ‘shadow capital city’ meski sudah ‘ditinggalkan’ utk ibukota yg baru yg jaraknya tak terlalu jauh dari KL juga.

    Membangun kota baru dari ‘scratch’ (misal di kota kecil yg belum penuh sesak) dgn planning ‘capital city standard’ yg lengkap infrastruktur2 dasarnya serta “life support systemnya” (termasuk “reserved areas” utk future planning dan seleksi orang2 yg patut utk tinggal sbg warga di ibukota – kita tak ingin orang2 ‘bodoh’ dan irrasional ‘menguasai’ ibukota kelas modern yg kita cintai terus2an kan? 😉 – hati2 warga Bali, ente bisa spt Jakarta juga nanti kalo gak waspada dgn bahaya laten penjajahan sosial model baru lewat infiltrasi agama utk pembodohan total bangsa ini shg bisa dgn mudah dikuasai asing nanti! We only believe on pure secular nationalism, not the half-hearted secta-nationalism [which compliant to one religion over pure secular nationalism ideology, a nationalist skin on religionism as cover] or even pure religionism!) tentu akan jauh lebih mudah dan murah daripada harus bayar ganti rugi ‘super lebay’ ke pemilik2 tanah yg sudah super tinggi NJOP-nya utk bangun infratruktur2 dasar yg telat dibangun spt di Jakarta ini – nanti duitnya utk bangun infrastruktur malah habis buat bayar ganti rugi tanah/bangunan donk… makanya gak jadi2 mulu, alias wacana lagi dan lagi…

    Kota yg ditinggalkan (tidak sbg ibukota lagi) tentunya masih berfungsi spt biasa, bedanya hanya krn ketiadaan pempu di kota tsb, maka demo2 besar ke pempu yg dulunya selalu menghantui ibukota sudah tidak ada lagi alias cuma demo2 lokal aja.
    Infrastruktur2 yg ditinggalkan masih bisa diutilisasi ulang utk keperluan pemda lokal, jadi tak ada yg sia2 terbuang percuma. Dan bagi pemda, tak perlu lagi minta ijin ke pempu kalau mau bangun sesuatu melintasi area/wilayah ‘kontrakan’ pempu alias bisa bebas atur diri/kota sendiri.

    Pihak militer juga pasti setuju kemudahan mobilisasi ibukota dgn cepat yg ditawarkan oleh sistem ‘kontrak ibukota’ ini – sejarah sudah membuktikan keselamatan NKRI di mata dunia bisa dilakukan dgn memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta dan Bukit Tinggi scr cepat. Bedanya kalau dulu krn infrastruktur kurang tepat sbg ibukota shg sukar utk membenahi/membangun ulang jaringan2 penting penghubung ke wilayah2 lainnya shg akhirnya wajib balik ke Jakarta lagi ujung2nya (yg relatif lebih lengkap), maka kalau sekarang dgn infrastruktur yg sudah lengkap, hal2 tsb sudah bisa dilakukan dgn cepat dan segera stlh dipindahkan.
    .
    Militer juga tertarik?
    Tenang gan, ini bukan area politik, masih dalam cakupan tugas militer anda dlm rangka menjaga kesatuan dan kesatuan NKRI (termasuk tidak memihak golongan manapun dalam koridor sipil, alias WAJIB NETRAL indiskriminatif), advis/dukungan anda tentu akan diperhatikan pem.pusat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here